JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo dinilai tengah dalam posisi dilematis dalam menghadapi panitia khusus hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Di satu sisi, Presiden ingin mengakomodasi kepentingan partai politik pendukungnya yang berada dalam pansus angket KPK. Namun di sisi lain, Jokowi juga ingin mendengarkan suara rakyat yang tak ingin KPK diperlemah oleh pansus.
"Tampaknya Presiden Jokowi kejepit antara tekanan parpol dan desakan rakyat untuk membangun citra dirinya sebagai presiden yang pro pemberantasan korupsi," kata Politisi Partai Demokrat Benny K Harman dalam diskusi yang digelar Para Syndicate di Jakarta, Jumat (15/9/2017).
(Baca: Soal Wacana Pertemuan, Jokowi Tunggu Surat dari Pansus Angket KPK)
Lebih parahnya, kata Benny, kondisi dilematis ini bisa membuat Jokowi gagal untuk mencalonkan diri kembali terpilih dalam pemilu presiden 2019 mendatang. Misalnya, apabila Jokowi lebih memilih mengakomodir kepentingan parpol pendukungnya di pansus angket KPK, maka Jokowi akan kehilangan suara rakyat.
"Survei terbaru rakyat ingin presiden yang pro pemberantasan korupsi," kata Wakil Ketua Komisi III DPR ini.
Sementara, apabila Jokowi lebih mendengar suara rakyat dan mengabaikan rekomendasi pansus angket KPK, maka Presiden juga bisa jadi tidak mempunyai kendaraan untuk mencalonkan diri kembali.
(Baca: Jokowi Harus Tertibkan Parpol Pendukungnya yang Usik KPK)
Enam parpol pendukungnya yang ada di pansus, yakni PDI-P, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, dan PAN bisa jadi menarik dukungannya.
Padahal, Undang-Undang Pemilu yang baru mensyaratkan parpol atau gabungan parpol mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung capres dan cawapres.
"Sikap ekstrem menolak pansus melemahkan posisi Presiden. Ambang batas pencalonan presiden sebesar 20-25 persen jadi pedang bermata dua," kata Benny.