JAKARTA, KOMPAS.com - Pengusaha Artalyta Suryani atau Ayin mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (13/9/2017).
Ayin tiba di KPK sekitar pukul 11.03 WIB. Ia terlihat turun dari mobil Toyota Vellfire putih. Mengenakan baju putih dan celana hitam panjang, Ayin terlihat berjalan berjejer dengan dua orang pria bersetelan jas. Di bagian depan, ada dua orang yang terlihat seperti pengawal.
Ayin tak berkomentar ketika ditanya tujuannya datang ke KPK. Ia sedikit tersenyum sambil mengangkat tangan, tanda enggan berkomentar.
KPK menyatakan, hari ini Ayin akan diperiksa sebagai saksi untuk mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, yang menjadi tersangka penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
(Baca juga: Jadi Saksi Kasus SKL BLBI, Artalyta Suryani Diperiksa soal Tambak Udang)
Dalam penyelidikan, KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Pemeriksaan Ayin hari ini merupakan penjadwalan ulang oleh KPK untuk pemeriksaan 5 September lalu.
"Benar, dijadwalkan ulang dari pemeriksaan 5 September lalu. Diperiksa untuk tersangka SAT," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, saat dikonfirmasi, Rabu.
Pada 5 Mei 2017 lalu, Ayin pernah mendatangi KPK. Saat itu penyidik KPK ingin mendalami apa yang diketahui Ayin terkait dengan proses pencetakan tambak udang PT Dipasena di Lampung milik Sjamsul Nursalim, yang juga pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia atau BDNI.
Ayin menjadi kontraktor atas proyek tambak udang PT Dipasena. Proyek pencetakan tambak itu dikerjakan oleh suami Ayin.
Selain itu, Ayin juga akan dimintai keterangan seputar interaksi dan hubungannya dengan Sjamsul Nursalim.
(Baca juga: Periksa Eks Kepala BPPN dalam Kasus BLBI, Apa yang Digali KPK?)
Dalam penyelidikan, KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN. KPK menduga Syafrudin selaku Kepala BPPN telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara.
Menurut KPK, perbuatan Syafrudin diduga telah menyebabkan kerugian negara sekurangnya Rp 3,7 triliun. Sjamsul juga disebut sudah menerima SKL dari BPPN, meski baru mengembalikan aset sebesar Rp 1,1 triliun, dari yang seharusnya Rp 4,8 triliun.