JAKARTA, KOMPAS.com - Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan lembaga yang mendorong mekanisme pemberantasan korupsi (trigger mechanism).
KPK dianggap tidak bisa mendorong lembaga lain untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi seperti KPK.
Ketua PJI Noor Rachmad mengatakan, dengan segala keistimewaan yang dimiliki, KPK justru hadir sebagai kompetitor.
Menurut Noor, para jaksa dari Kejaksaan merasa "dianaktirikan" jika dibandingkan jaksa KPK.
Ia menyebutkan, dalam penanganan kasus korupsi, jaksa dari Kejaksaan harus mendapatkan izin untuk sejumlah hal saat melakukan tindakan.
Baca juga: Anggota Komisi III Minta Pimpinan KPK Proporsional Sikapi Aris Budiman
"Untuk melakukan pemeriksaan, penyitaan, izin ke rekening BI, jaksa Kejaksaan harus memenuhi persyaratan perizinan. Ini sama sekali berbeda dari KPK yang bebas dari rezim perizinan," kata Noor, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus Angket KPK, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/9/2017).
Jaksa Agung Muda Pidana Umum itu, mengatakan, selain bebas dari urusan syarat perizinan, kinerja KPK juga didukung oleh anggaran yang kuat.
Dengan segala keterbatasan, Noor mengklaim bahwa output Kejaksaan lebih baik dibandingkan KPK.
Ia mengatakan, catatan Kejaksaan Agung, sepanjang 2016, telah melakukan penyelidikan sebanyak 1.600 perkara, penyidikan 1.527 perkara, eksekusi 1.056 perkara, dan penuntutan lebih dari 2.400 perkara.
"Penyelamatan keuangan negara tahap penyidikan dan penuntutan Rp 331 miliar sekian. Dan eksekusi uang pengganti Rp 157 miliar. Artinya, sekalipun kondisi minim, dengan rezim perizinan dan anggaran minim, kami tidak surut dalam berprestasi," kata Noor.
Baca: Selain Aris Budiman, Pansus Angket Ingin Panggil Penyidik KPK Lain
Noor mengatakan, terkait kewenangan supervisi, jika mengacu Pasal 8 UU KPK, seharusnya ada produk berupa hasil penelitian, penelaahan mengenai kondisi yang dilakukan oleh Kejaksaan.
Menurut dia, supervisi yang dilakukan KPK seharusnya pengawasan terhadap institusi, bukan terhadap personel atau jaksa.
"Yang selama ini terjadi, tidak pernah satu pun ada produk supervisi itu diberikan kepada Kejaksaan," ujar Noor.
Selama ini, kerja sama KPK dan Kejaksaan hanya bersifat koordinasi dalam penanganan perkara.
Menurut Noor, KPK belum pernah memberikan masukan ke Kejaksaan dalam rangka penanganan korupsi.
Dengan kondisi ini, Noor pesimistis Kejaksaan bisa "naik kelas" dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.
"Bagaimana Kejaksaan mau naik grade-nya kalau harus dihadapkan (dibandingkan) dengan KPK yang tidak mengenal rezim perizinan, yang anggarannya besar, regulasinya jelas. Tentu tidak imbang," kata dia.
"Yang ada sekarang ini terjadi adalah KPK sebagai kompetitor, bukan trigger mechanism," ujar Noor.