JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mempertanyakan reaksi publik terhadap rencana penataan Kompleks Parlemen.
Adapun, penataan Kompleks Parlemen termasuk rencana pembangunan gedung baru pengganti Gedung Nusantara I, pembangunan alun-alun demokrasi hingga museum dan perpustakaan.
"Masa kami mau berwacana mengintegrasikan kawasan parlemen saja kita ribut sedunia? Pemerintah mau mindahin Ibu Kota, ya kita biasa-biasa saja, santai saja," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Fahri menegaskan, kuasa pengguna anggaran berada di tangan eskekutif. Sedangkan legislatif, dalam hal ini hanya memberikan ide.
Eksekusi penataan Kompleks Parlemen berada di Sekjretaris Jenderal DPR yang kemudian dibahas kembali di Badan Anggaran untuk disetujui atau tidak.
"Kan ada pemerintahnya di situ pada saat pembahasan anggaran," ucap dia.
Adapun mengenai pembangunan apartemen anggota DPR yang dibatalkan, Fahri menuturkan hal tersebut karena Ketua DPR RI Setya Novanto tak ingin ribut.
"Masalahnya kami baru ngomong ini, kawasan harus ditata begini, begini. Ini sudah jadi ribut sedunia padahal belum ada rencananya," kata dia.
Sebelumnya, Setya Novanto menegaskan bahwa pembangunan apartemen anggota DPR belum perlu dilakukan.
"Kami sudah putuskan tidak perlu kami harus membangun atau kami menyewa apartemen. Itu sudah final kami putuskan bersama," kata Novanto.
Namun, penataan Kompleks Parlemen termasuk pembangunan gedung baru DPR kemungkinan tetap berjalan. Novanto menjelaskan, pembangunan gedung situasional karena kondisinya saat ini sudah melebihi kapasitas.
(Baca: Kata Novanto, DPR Tak Akan Bangun Apartemen, tapi Gedung Baru)
Maket disepakati
Tidak hanya DPR, Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) juga berkeinginan membangun gedungnya sendiri.
Sekretaris Jenderal DPD, Sudarsono Hardjosoekarto menyampaikan bahwa pembangunan gedung baru sudah cukup sering dibahas tiga lembaga parlemen, yakni DPR, DPD dan MPR bersama pemerintah.