JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mempersilakan setiap fraksi untuk mengusulkan rapat konsultasi bersama pimpinan DPR untuk membahas pergantian Setya Novanto selaku Ketua DPR, yang saat ini yang berstatus tersangka.
Namun, usulan tersebut harus disampaikan secara baik melalui mekanisme komunikasi politik yang telah diatur dan tanpa mengesampingkan aturan yang berlaku terkait pergantian pimpinan DPR yang tengah berstatus tersangka.
Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), pimpinan DPR baru bisa diberhentikan sementara setelah berstatus terdakwa dan diiberhentikan total jika telah inkrah.
"Sepanjang hal-hal yang sifatnya komunikasi politik enggak ada salahnya. Yang penting kita kembali ke rujukan pada peraturan dan hukum yang berlaku sampai keputusan inkrah," kata Taufik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/7/2017).
(Baca juga: PKS Sarankan Fraksi-fraksi Kumpul Bahas Posisi Novanto sebagai Ketua DPR)
Taufik mengatakan, hingga hari ini belum ada usulan resmi dari fraksi mana pun kepada pimpinan DPR untuk menggelar rapat konsultasi membahas pergantian Ketua DPR.
Namun, ia tak menampik ada beberapa anggota DPR dari berbagai fraksi yang mengusulkan rapat konsultasi pergantian Novanto. Hanya saja usulan tersebut belum bersifat resmi karena disampaikan secara personal.
"Ini kami tunggu satu-dua hari. Ini kan baru kemarin. Mungkin satu hari ini kita bagaimana sekaligus komunikasi dengan teman-teman fraksi. Intinya kan ini tidak bertujuan ke personal Pak Ketua DPR. Ini soal kelembagaan," ujar Taufik.
"Semua langkah pasti dilakukan. Komunikasi dengan fraksi-fraksi tentunya itu menjadi hal yang baik manakala dipandang perlu untuk meningkatkan efektivitas komunikasi politik," kata politisi PAN itu.
Sebelumnya, Novanto menyatakan tetap akan menjalankan tugas Ketua DPR meski berstatus tersangka kasus dugaan korupsi.
(Baca: Jadi Tersangka KPK, Novanto Tak Mundur sebagai Ketua DPR)
Dalam Pasal 87 ayat 1 UU MD3 diatur bahwa pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan.
Jika pimpinan DPR terjerat kasus pidana, dalam Ayat 2 Huruf c diatur pemberhentian bisa dilakukan ketika dinyatakan bersalah dalam putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap karena melakukan pidana dengan ancaman penjara lima tahun atau lebih.
(Baca juga: Tetap Ketua DPR, Novanto Dinilai Coreng Agenda Pemberantasan Korupsi)