Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasal Penodaan Agama Diatur Lebih Detil dalam RUU Perlindungan Umat Beragama

Kompas.com - 17/05/2017, 20:57 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tidak setuju jika Pasal 156a mengenai penodaan agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dihapuskan.

Lukman mengatakan, saat ini belum ada instrumen hukum untuk menyelesaikan konflik atau kasus penodaan agama jika Pasal 156a dihapus.

"Saya pikir kalau ada yang ingin menghapus kita harus berhati-hati betul, apakah ada penggantinya? Karena kalau dihapus pasal-pasal penodaan agama tanpa ada penggantinya, artinya kita tidak memiliki lagi alas hukum untuk menyelesaikan persoalan penodaan dan penistaan agama secara hukum," ujar Lukman, saat ditemui usai diskusi 'Memperteguh Keindonesiaan', di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat, Rabu (17/5/2017).

Menurut Lukman, kekosongan instrumen hukum akibat penghapusan Pasal 156a justru akan berdampak negatif di masyarakat.

Masyarakat berpotensi melakukan main hakim sendiri terhadap orang-orang yang dituduh melakukan penistaan agama.

"Kalau kita tidak punya lagi dasar hukum itu, itu artinya kan masyarakat diminta untuk menyelesaikan sendiri masalah itu, main hakin sendiri, itu jauh lebih berbahaya," ujar dia.

Lukman mengatakan, saat ini pemerintah tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Umat Beragama.

Salah satu bab dalam RUU tersebut akan mengatur secara lebih detil dan jelas mengenai ketentuan penodaan agama.

"Sebenarnya kan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) terkait dengan pasal 156a itu adalah merevisi, bukan menghilangkan. Kalau merevisi itulah yang sedang kami lakukan di Kementerian Agama, dengan menyiapkan RUU tentang perlindungan umat beragama," kata Lukman.

Sebelumnya kalangan masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR menghapus ketentuan penodaan agama pasal 156a dalam pembahasan revisi KUHP.

Mereka menilai, pasal tersebut merupakan pasal karet dan mudah dimanipulasi untuk kepentingan politik.

Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani berpendapat bahwa delik penodaan agama rentan dimanipulasi dan tidak murni untuk kepentingan agama.

Berdasarkan hasil riset Setara Institute tercatat ada 97 kasus penodaan agama yang terjadi dalam kurun waktu 1965 hingga 2017.

Jika ditelisik lebih jauh, ada berbagai macam konteks yang melatarbelakangi seluruh kasus penodaan agama tersebut.

Menurut Ismail, sebagian besar kasus penodaan agama dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan, antara lain relasi sosial, relasi bisnis dan kontestasi politik.

Sementara, dari keseluruhan kasus penodaan agama, hanya 10 kasus yang berdasarkan konflik keagamaan dan 22 kasus terkait polemik pemahaman keagamaan. 

Kompas TV MUI: Indonesia Harus Jadi Contoh Islam Toleran
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Nasional
Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Nasional
Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Nasional
Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Nasional
Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Nasional
DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

Nasional
Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Nasional
Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

Nasional
DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

Nasional
Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Nasional
Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Nasional
Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com