KLATEN, KOMPAS - Penempatan anak yang tengah bermasalah dengan hukum di lembaga pemasyarakatan khusus anak belum sepenuhnya bisa dilakukan. Masih ada anak yang dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan umum bersama narapidana dan tahanan dewasa.
"Ada dua sel khusus anak yang terpisah dari penghuni lapas (lembaga pemasyarakatan) dewasa. Akan tetapi, untuk kegiatan ibadah, olahraga, dan kesenian, mereka bergabung dengan warga binaan dewasa," kata Kepala Lapas Kelas IIB Klaten, Jawa Tengah, Budi Priyanto ketika ditemui di Klaten, Senin (27/2).
Di lapas itu terdapat delapan anak berhadapan dengan hukum (ABH), istilah untuk menyebut anak-anak yang tengah berkonflik dengan hukum. Lima orang berusia di bawah 18 tahun. Tiga orang sisanya sudah berusia 18 tahun ketika menjalani proses hukum, tetapi dimasukkan kategori ABH.
Budi menerangkan, anak-anak yang vonis hukumannya di bawah 1 tahun ditempatkan di Lapas Klaten dengan alasan dekat dengan keluarga. Adapun anak-anak dengan vonis hukuman di atas 1 tahun seharusnya dibina di Lapas Khusus Anak Kutoarjo di Kutoarjo, Jawa Tengah. "Namun, ada beberapa anak yang divonis di atas 1 tahun tetap berada di Klaten karena keputusan pengadilan," kata Budi.
Sebagian besar anak-anak tersebut masuk ke lapas karena terlibat kasus pencurian. Ada pula yang masuk karena melakukan kekerasan seksual berkelompok.
Dalam proses rehabilitasi, selain didampingi para petugas lapas dan dinas sosial, mereka juga dibimbing oleh lembaga swadaya masyarakat Sahabat Kapas.
Wajib diversi
Koordinator Sahabat Kapas Dian Sasmita, yang membina sejumlah ABH di Klaten, Kutoarjo, Wonogiri, dan Surakarta, mengungkapkan, rehabilitasi anak di lapas umum berdampak menambah trauma ABH.
"Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menegaskan, (tindakan pidana yang diancam) hukuman di bawah 7 tahun harus melalui proses diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana). Apabila ABH harus dimasukkan ke lapas, harus yang khusus anak. Sayangnya, dalam penerapannya belum semua jajaran aparat penegak hukum mengerti," ujarnya.
A, misalnya, remaja yang menjalani hukuman kurungan 5 tahun karena kasus kekerasan seksual. Berdasarkan Pasal 49 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2016, ABH yang direhabilitasi di lapas khusus anak bisa mendapat pembebasan bersyarat jika sudah menjalani setengah masa hukuman.
Namun, karena A direhabilitasi di lapas umum, kesempatan pembebasan bersyarat baru memungkinkan jika dia sudah menjalani dua pertiga masa hukuman. "Ini tidak adil dan tidak sesuai dengan UU SPPPA," ujar Dian.
Di dalam lapas, ABH menjalani berbagai kegiatan rehabilitasi, seperti membuat prakarya. Salah satunya membuat pigura sambil membahas anggota keluarga yang fotonya ingin mereka pajang di pigura itu. "Dari berbagai diskusi dan permainan terungkap, anak-anak ini mengalami kekerasan fisik, verbal, dan penelantaran sejak kecil," kata Dian.
Kondisi ekonomi keluarga yang sulit membuat orangtua sibuk mencari nafkah. Di samping itu, orangtua juga tak memiliki pendidikan memadai sehingga dalam mendisiplinkan anak cenderung memakai kekerasan. "Ketika mereka masuk lapas, anak-anak sudah putus asa dan beranggapan tak pantas memiliki kehidupan layak," ucapnya.
Relawan dan konselor kemudian memotivasi kembali para ABH agar percaya bahwa mereka bisa berubah menjadi manusia yang positif. Hal itu merupakan tantangan berat karena stigma masyarakat menyambut mereka di kala bebas.
Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik dan Kegiatan Kerja Lapas Klaten Eko Bekti mengatakan, orangtua ABH rutin dipanggil untuk turut dibimbing konselor dalam meluaskan wawasan pengasuhannya. Selain itu, mereka juga bekerja dengan program Desa Layak Anak yang berlangsung di sembilan desa untuk terus membimbing anak ketika sudah keluar lapas. (DNE)
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2017, di halaman 13 dengan judul "Kebutuhan Lapas Khusus Anak Mendesak".