JAKARTA, KOMPAS.com — Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi memastikan bahwa proses seleksi hakim Mahkamah Konstitusi pengganti Patrialis Akbar akan dilakukan secara transparan dan terbuka melalui panitia seleksi.
Selain diisi oleh perwakilan pemerintah, pansel nantinya akan diisi oleh tokoh-tokoh masyarakat yang punya kapasitas.
Pansel juga akan turut meminta bantuan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan untuk mengecek rekam jejak calon.
"Selalu juga melibatkan KPK dan PPATK, baik secara informal maupun formal. Selalu begitu," kata Johan saat dihubungi, Selasa (31/1/2017).
(Baca: Mundur, Patrialis Akbar Dianggap Sangkal Pembelaan Sendiri)
Johan mengatakan, nantinya siapa pun yang memenuhi syarat bisa mendaftar sebagai calon hakim MK. Tidak ada syarat kandidat harus dari non-parpol.
"Ini bukan soal parpol dan non-parpol, melainkan soal integritas dan kapasitas calon yang bersangkutan. Dia harus melalui mekanisme seleksi yang transparan melalui panitia seleksi, dan publik bisa ikut juga memberi masukan," ucap mantan pimpinan KPK ini.
Johan menambahkan, pansel akan segera dibentuk apabila pemerintah sudah menerima surat dari MK yang berisi pemberhentian ataupun pengunduran diri Patrialis dari jabatannya.
"Memang ini kan jatahnya pemerintah kan. Namun, Presiden memutuskan untuk membentuk pansel. Nanti akan dibentuk secara terbuka, transparan," ucap Johan.
Sebelumnya, pada 2013, Patrialis ditunjuk langsung oleh Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono.
Proses pemilihan Patrialis dianggap tidak transparan dan tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbangkan pendapat.
Padahal, berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pencalonan hakim konstitusi dilakukan secara transparan dan partisipatif.
Keputusan Presiden No 87/P Tahun 2013 tentang pengangkatan Patrialis juga digugat dan dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
Namun, pemerintah melakukan banding, dan keputusan itu dianulir oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan juga Mahkamah Agung sehingga Patrialis tetap menjabat sebagai hakim MK.
Tiga tahun usai dilantik, Patrialis ditangkap KPK setelah diduga menerima suap senilai 20.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar.