JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menilai revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) belum saatnya dilakukan.
Revisi UU MD3, menurut Hidayat, harus dilakukan atas dasar menjawab tuntutan atau keperluan jangka panjang yang mendasar, bukan atas dasar kepentingan politik jangka pendek.
"Kalau hanya mengakomodasi blablabla, saya kasihan UU dan anggarannya yang dipakai untuk membahas revisi UU terkait MD3," kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (1/12/2016).
Hidayat meyakini, akan ada saatnya UU MD3 memang harus direvisi. Ia memprediksi baru bisa direvisi pada 2018 mendatang.
Revisi UU MD3 dibutuhkan jika sudah mendekati momentum pemilu legislatif dan pemilu presiden.
"(Revisi) itu biasanya dibuat terakhir di masa jabatan. Idealnya menyeluruh, jangan mengakomodasi kepentingan sesaat," kata politisi PKS itu.
Jika memaksakan revisi atas dasar ingin mengakomodasi permintaan politik tertentu, dikhawatirkan akan berdampak pada citra DPR yang saat ini buruk di mata masyarakat, menjadi lebih buruk.
"Akan kurang berwibawa UU itu. Dan publik akan melihat DPR ternyata kalau membuat UU hanya untuk kepentingan tertentu. Itu tidak membantu memperbaiki DPR," kata dia.
Wacana Revisi UU MD3 kembali digaungkan beriringan dengan momentum pergantian Ketua DPR RI.
(Baca: PDI-P Usulkan Revisi UU MD3 di Prolegnas 2017, Ini Alasannya)
Fraksi PDI Perjuangan bahkan menyampaikan usulan revisi tersebut pada sidang paripurna Rabu (30/11/2016) kemarin.
Juru bicara Fraksi PDI Perjuangan Aria Bima mengatakan, selaku partai dan fraksi terbesar di parlemen, PDI-P berharap direpresentasikan juga pada komposisi pimpinan DPR.
Aria menambahkan, jika dimungkinkan, sebagai partai dengan perolehan suara terbesar pada pemilu legislatif, PDI-P menginginkan kursi pimpinan DPR.
(Baca juga: Usulkan Revisi UU MD3, PDI-P Dapat Dukungan Sejumlah Fraksi)