Oleh: Geger Riyanto
Suatu hari, seorang novelis belia menyatakan bahwa Indonesia merdeka berkat perjuangan kelompok religius.
Melalui pesan itu, sang novelis tampak ingin mempertanyakan andil satu kelompok yang mencakup Tan Malaka dan Sjahrir dalam memerdekakan negeri ini
Sebagian kita mungkin masih ingat, tak lama, sang novelis menuai berbondong kritik. Ia dianggap ahistoris, tidak benar-benar membaca sejarah.
Tetapi, selain memang patut dikritik, pernyataan kontroversialnya mengungkap satu kesadaran kolektif yang penting kita hiraukan.
Perjuangan, dalam pikiran sang novelis, lekat dengan memerangi serdadu-serdadu asing. Saya berani menjamin, ini bukan hanya keyakinan satu-dua anak muda.
Kedekatan antara perang dan perjuangan kemerdekaan ini tak lepas dari pencangkokan narasi sejarah secara masif oleh rezim di masa silam.
Sebagaimana pernah diteliti juga oleh Katherine McGregor serta Asvi Warman Adam, dalam pemahaman sejarah yang dikembangkan Orde Baru perjuangan bersenjata sangat dikedepankan.
Teks sejarah utama, buku pegangan sekolah, hingga cerita rakyat dianyam sehingga perjuangan terkesan hanya sahih apabila mengangkat senjata terhadap bangsa asing.
Namun pemahaman sejarah yang demikian, saya kira, langgeng bukan semata lantaran konstruksi rezim yang militeristis.
Sejak awal kemerdekaan itu sendiri, imajinasi perang sangatlah menggoda bagi para pemuda.
Kesaksian yang dihimpun sejumlah pengkaji periode revolusi Indonesia menemukan bahwa para pejuang revolusi hampir bisa dipastikan anak-anak muda.
Di Jawa Timur, misalkan, William Frederick mencatat: persepsi orang-orang desa adalah bahwa para pejuang identik dengan pemuda dari luar desa.
Pemuda dan revolusi
Catatan Mary Margaret Steedly dari etnografinya di Karo bahkan mengungkap bahwa kelompok pejuang kemerdekaan, yang disanjung cerita-cerita sejarah resmi Indonesia di kemudian hari, dibentuk dengan perkoncoan ala anak muda.
Pada satu kelompok, misalnya, begitu mendengar Indonesia merdeka beberapa anak muda yang menggebu-gebu ingin melakukan sesuatu berkumpul.
Mereka pun membentuk tentara dengan mengajak kerabat, sepupu, dan teman untuk bergabung.
Tentu saja tak ada pemeriksaan, seleksi, atau pelatihan profesional. Bahkan, sosok komandan dipilih berdasarkan siapa yang paling berwibawa di antara mereka.