Politik bukan perkara ideologi.
Bukan hal baru sebenarnya, karena juga terjadi di semua belahan dunia sejak lama. Akhir-akhir ini, di Indonesia, kita mengalaminya lagi.
Karenanya, "matinya" para ideolog di panggung-panggung politik tidak perlu diratapi. Ratapan tidak akan membuat para ideolog kembali dan lantas punya taji.
Alih-alih punya taji, jika para ideolog bangkit dari kematiannya, olok-olok akan mereka terima. Ideologi dan para ideolog akan dianggap tidak lagi relevan.
Kurang kekinian, meminjam bahasa anak sekarang.
Di tengah masyarakat yang mudah diajak memuji dan sekejap kemudian membenci dengan alasan emosi (perasaan semata), penalaran dengan dasar logika yang ditawarkan para ideolog adalah sinyal membuang energi.
Bergantung pada konsultan
Peran ideologi yang sebelumnya mampu menggugah kesadaran orang per orang untuk berpolitik saat ini digantikan para konsultan.
Jika kemudian mereka yang tampil di panggung-panggung politik itu tampak seperti ideolog, itu hanya seolah-olah saja. Kesan keseolah-olahan mereka adalah hasil kerja para konsultan yang kerap tak kelihatan.
Citra ideolog yang ditangkap massa atas seorang tokoh adalah hasil ciptaan. Ada rekayasa yang dilakukan meskipun juga bukan tanpa dasar.
Untuk upaya ini, politik tanpa ideologi bergantung pada para konsultan. Mereka bergerak dalam tim jajak pendapat atau survei dan tim public relation.
Sekali lagi, ini juga bukan barang baru. Tiap masa kampanye dan pemilihan umum, kenyataan ini seperti diteguhkan lagi.
Di Indonesia, kesadaran akan matinya ideologi atau "pembunuhan" para ideolog di panggung-panggung politik terlihat jelas selepas masa reformasi 1998.
Kematian ideologi terjadi bersamaan dengan masa pemilihan presiden dan wakil presiden langsung Indonesia pertama kali tahun 2004.
Jika kita masih ingat, saat itu ada Lembaga Survei Indonesia (LSI) dengan Denny JA sebagai Direktur Eksekutifnya. LSI saat itu sukses membawa Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla menumbangkan lawan-lawanya termasuk petahana Megawati Soekarnoputri.
Sejak awal kemunculannya dengan hasil survei awal 2004, Denny JA sudah mengumandangkan kematian ideologi di panggung-panggung politik.
Apa yang dikumandangkan Denny JA itu bukan tanpa dasar. Upayanya melaksanakan tugas dari SBY untuk melakukan survei tingkat popularitas dan peluangnya menjadi presiden di Pilpres 2004 menjadi dasar keyakinan.
Kita ingat, SBY yang mundur dari tugas sebagai pembantu Presiden Megawati karena merasa tugas-tugasnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Polkam) diambil alih Presiden.
Sebelum mundur, ada polemik antara SBY dan Taufik Kiemas (suami Megawati) yang memunculkan drama karena tuduhan sebagai menteri dengan kelakuan kekanak-kanakan.