JAKARTA, KOMPAS.com - Pembatalan Peraturan kepala daerah (Perda) oleh Gubernur atau peraturan Gubernur (Pergub) oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merupakan bentuk perhatian pemerintah dalam memberikan jaminan kepastian hukum.
Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Widodo Sigit Pudjianto saat memberikan keterangan terkait gugatan uji materi atau judicial review (JR) terhadap pasal 251 Ayat 1, Ayat 2, Ayat 7, dan Ayat 8 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 mengenai pembatalan peraturan di bawah UU merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA).
Widodo mengatakan, tugas pemerintah adalah memberikan kepastian hukum kepada rakyatnya.
Pengajuan keberatan atas Perda dan Pergub melalui MA, lanjut dia, akan memperpanjang proses birokrasi, sehingga menjauhkan kewajiban pemerintah yang semestinya bisa memberikan kepastian hukum.
"Upaya pengajuan keberatan lanjutan setelah dari atasan pejabat kepada badan peradilan, Mahkamah Agung (MA), akan semakin memperpanjang birokrasi dan menjauhkan terwujudnya kepastian hukum terutama bagi masyarakat di daerah yang terkena dampak berlakunya suatu perda atau perkada yang menjadi objek pembatalan tersebut," ujar Widodo dalam persidangan di MK, Jakarta Pusat, Selasa (6/9/2016).
Widodo mengakui, pengajuan keberatan melalui MA diatur dalam Pasal 145 ayat 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah menjadi UU 23/2014.
"Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahakamah Agung," tutur Widodo menukil isi Pasal 145 Ayat 3 UU 32/2004 tersebut.
Namun, gugatan yang mesti melalui MA mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya tidak ada batas waktu mengenai seberapa lama waktu yang dibutuhkan MA untuk memeriksa dan memutus keberatan tersebut.
"Akibatnya, tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum atas status suatu Perda atau Perkada yang telah dibatalkan namun tidak kunjung turun dan diterima," kata dia.
(Baca: MK Minta Penggugat Pasal Kewenangan Pembatalan Perda Rinci Kerugian Konstitusional)
Gugatan uji materi sejumlah pasal dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah tersebut diajukan oleh Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan, Solihin, dan Totok Ristiyono.
Dalam berkas permohonan nomor perkara 56/PUU-XIV/2016 itu, pemohon menilai UU tersebut telah memberikan kewenangan kepada Gubernur dan Menteri untuk membatalkan Perda atau Pergub dengan ketentuan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi merupakan executive review yang dapat digunakan untuk kesewenang-wenangan pemerintah pusat dan cenderung mengarah resentralisasi.
Executive review secara represif yang diatur dalam UU Penda merupakan kompetensi MA sebagai pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara.