JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPR Ade Komarudin menilai, belum ada ketegasan dari pemerintah dalam penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).
Menurut dia, ada penyimpangan dalam sosialisasi tax amnesty hingga UU tersebut berencana digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh kalangan masyarakat yang dimotori oleh Muhammadiyah.
"Saya kira pemerintah harus tegas soal ini. Enggak usah ditakut-takuti. Sekarang ada penyimpangan dari sosialisasinya," ujar Ade, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/8/2016).
"Malah orang-orang yang tidak berdaya dicecar untuk melakukan tax amnesty. Kenapa? Apakah karena ketidakmampuan menghadapi konglomerat yang besar-besar itu?" sambung dia.
Ade mengatakan, ada hal yang perlu disoroti oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dalam menyosialisasikan tax amnesty.
Pertama, mengimbau pengusaha yamg menyimpan uang di luar negeri untuk membawa kembali uangnya tersebut ke Indonesia.
Perintah UU tersebut, kata Ade, harus dijalankan dengan patuh. Apalagi, UU hanya memberikan waktu hingga April 2017.
"Mereka hidup dan besar di Indonesia, kaya di Indonesia. Tolong lah ada kesadaran. Jangan memikirkan, 'Saya sudah diampuni kok dengan UU Tax Amnesty' lalu tidak mengembalikan uangnya," kata Politisi Partai Golkar itu.
Sebelumnya, Muhammadiyah berencana mengajukan uji materi UU Pengampunan Pajak atau tax amnesty ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ada beberapa alasan langkah itu diambil. Salah satunya karena UU tersebut dinilai tak adil bagi masyarakat.
"Kebijakan ini melenceng dari tujuan dan akan membebani masyarakat," kata Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Syaiful Bahri seperti dikutip Kontan.
Tujuan awal tax amnesty adalah memberikan pengampunan ke para konglomerat yang memarkirkan dananya di luar negeri agar dapat dikembalikan ke dalam negeri.
Kenyataanya, aturan ini meluas hingga rakyat biasa juga diwajibkan ikut program ini.
"Jika tidak ikut, kena sanksi," katanya.
Padahal, kata Syaiful, rakyat tak punya kesalahan seperti yang dilakukan oleh para pengusaha yang menaruh dananya di luar negeri.
Dengan begitu, aturan itu menyamakan rakyat dengan para konglomerat yang menghindari pajak.