JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar mengatakan, penghentian kasus pembakaran hutan oleh kepolisian tak jadi masalah selama dilengkapi argumentasi yang tepat.
Namun, kalau pemberhentian penyidikan itu tidak disertai argumentasi berdasarkan hukum, maka akan mencederai lembaga kepolisian itu sendiri.
"Orang tidak akan percaya bagaimana penegak hukum, meskipun mungkin itu cuma Polri, tapi yang kena (nantinya) seluruh prospek penegakan hukum jadinya," ujar Bambang saat dihubungi, Selasa (26/7/2016).
"Proses yang seharusnya sudah cukup lengkap atau sudah memenuhi syarat untuk diteruskan dalam rangka proses hukum ternyata kok tidak," tambah dia.
(Baca: Komisi III Akan Tanyakan SP3 Polda Riau terhadap 15 Perusahaan Terkait Pembakaran Hutan)
Bambang mengimbau agar kepolisian mempertimbangkan kembali penghentian itu. Pasalnya, dampak dari pengawalan kasus ini akan kembali pada citra penegakan hukum di Indonesia oleh lembaga penegak hukum.
"Nah, ini perlu dipertimbangkan oleh kepolisian sendiri dalam rangka menjaga marwah dari pada subyek hukum di Indonesia," kata dia.
Kebakaran hutan hebat terjadi di Riau pada Juli 2015. Dalam kebakaran tersebut ditemukan unsur kesengajaan yang akhirnya menyeret 15 perusahaan serta 25 orang ke meja hijau.
(Baca: Presiden Belum Tahu Belasan Perusahaan Bebas dari Jerat Hukum Kebakaran Hutan)
Adapun ke-15 perusahaan tersebut adalah PT Bina Duta Laksana (HTI), PT Ruas Utama Jaya (HTI), PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia (HTI), PT Suntara Gajah Pati (HTI), PT Dexter Perkasa Industri (HTI), PT Siak Raya Timber (HTI), dan PT Sumatera Riang Lestari (HTI).
Lalu, PT Bukit Raya Pelalawan (HTI), PT Hutani Sola Lestari, KUD Bina Jaya Langgam (HTI), PT Rimba Lazuardi (HTI), PT PAN United (HTI), PT Parawira (Perkebunan), PT Alam Sari Lestari (Perkebunan), dan PT Riau Jaya Utama.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar sebelumnya menegaskan, pihaknya memiliki alasan yang kuat untuk menghentikan penyidikan kasus kebakaran hutan yang melibatkan 11 perusahaan di Riau.
Jika ada pihak yang merasa keberatan, kata Boy, Polri terbuka dengan perlawanan tersebut.
"Kalau masyarakat merasa ada yang dirugikan, gugat saja keputusan itu. Terbuka kok, ada praperadilan. Kalau memang itu dinilai sesuatu yang tidak patut," kata Boy di Mabes Polri, Kamis (21/7/2016).