Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Enam Pasal dalam Revisi UU Terorisme Perlu Dikaji Ulang

Kompas.com - 09/06/2016, 18:57 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pasal dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dievaluasi. Beberapa di antaranya bahkan harus dihapuskan karena berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.

Direktur Imparsial Al Araf menjabarkan ada enam pasal kontroversial yang patut dikaji ulang itu.

Pertama, pasal 43b mengenai pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme. Menurut dia, aturan tersebut bertimpangan dengan Pasal 7 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Sehingga tidak perlu lagi diatur dengan UU Terorisme," kata Al Araf di sela rapat dengar pendapat Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (9/6/2016).

(Baca: Ada Dewan Pengawas untuk Densus di RUU Terorisme, Apa Komentar Polri?)

Kedua, pasal 31 tentang mekanisme penyadapan perlu ditinjau ulang agar penyadapan menggunakan izin Pengadilan Negeri.

Ketiga, Pasal 13a terkait penebaran kebencian. Agar tak membatasi kebebasan berekspresi, kata Al Araf, perlu diatur secara lebih ketat dengan menganut prinsip-prinsip pada Pasal 20 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

Keempat, Pasal 43a yang kerap disebut sebagai "pasal Guantanamo", lebih baik dihapus. Pasal itu berbunyi "Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap Setiap Orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan".

(Baca: Pasal “Guantanamo” di RUU Antiterorisme Penuh Kontroversi)

Kelima, Pasal 12b ayat (5) yang menyebutkan bahwa selain pidana tambahan seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya, warga negara Indonesia yang merupakan pelaku Tindak Pidana Terorisme dapat dicabut kewarganegaraannya oleh pejabat yang berwenang.

"Itu isu kompleks. Seorang WNI akan berpotensi stateless. Jika dia terlibat kejahatan, siapa negara yang memproses hukumnya?" kata Al Araf.

Pasal berikutnya adalah Pasal 25 yang mengatur tentang perpanjangan masa penangkapan dan penahanan. Jika mau diberlakukan, lanjut dia, maka perlu ada mekanisme check and balance. 

(Baca: Dikritik, RUU Anti-Terorisme Sama Sekali Tak Atur Hak Korban)

"Kalau di beberapa negara ada hakim komisaris untuk menilai apakah ini perlu apa tidak. Kalau di Indonesia sebaiknya evaluasinya oleh Komnas HAM, DPR dan pemerintah setiap tahunnya," tutup Al Araf.

Pansus RUU Terorisme kembali mengundang sejumlah perwakilan lembaga untuk meminta masukan terkait penyusunan dan perumusan RUU Terorisme. Selain Imparsial, turut hadir perwakilan dari Komnas HAM, Setara Institute, Tim Pembela Muslim, PBNU, dan Pusat HAM Islam Indonesia (Pushami).

Kompas TV Pro Kontra Revisi UU Anti-terorisme
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Nasional
Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com