JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menekankan, polisi tidak akan mengubah cara mereka bertindak dalam menegakkan hukum terhadap isu-isu komunisme, meski banyak mendapat pertentangan.
"Tidak ada, tetap," ujar Badrodin di Istana Kepresidenan, Jumat (13/5/2016).
Badrodin menilai, pertentangan semacam itu adalah hal wajar. Pihak yang menjadi obyek penindakan, menurut dia, wajar jika menentang.
Menurut Badrodin, cara bertindak polisi tidak akan lepas dari undang-undang. Dalam konteks penegakan hukum terhadap isu komunisme, polisi mendasarkan diri pada tiga aturan.
Pertama, Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Tap MPRS itu mengatur tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan pelarangan ajaran komunisme dan Marxisme-Leninisme.
Kedua, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Ketiga, Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
Atas dasar aturan itu pula, Badrodin mempertanyakan adanya protes terhadap tindakan aparat kepolisian dalam menangani isu komunisme.
"Sebenarnya yang diprotes itu yang bagian mana, sih?" kata dia.
Badrodin menolak jika penindakan jajarannya tersebut berpotensi membungkam kebebasan berpendapat.
"Ya tidak begitu (membungkam kebebasan berpendapat). Kalau begitu ya orang bebas dong pakai baju palu arit. Sudah jelas Tap MPR dan UU Nomor 27 melarang, ya enggak bisa, dong," ujar dia.
Salah satu protes terhadap aksi Polri dilakukan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Koordinator Kontras Haris Azhar menilai, maraknya operasi antikomunisme atau anti-PKI merupakan rekayasa dan tindakan yang berlebihan untuk menciptakan keresahan masyarakat.
"Apa yang terjadi saat ini adalah sebuah operasi bergaya Orde Baru dengan sedikit menggunakan peran teknologi informasi," ujar Haris.
(Baca: Kontras Nilai Operasi Anti-komunisme Bergaya Orde Baru)
Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga melayangkan protes terhadap tindakan yang dilakukan Polri.
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan, tidak ada dasar hukum yang melandasi penangkapan orang-orang yang memakai atau menyimpan kaus berlogo palu arit.
Dia menilai, penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh aparat telah menyalahi peraturan perundang-undangan.
"Banyak hal yang salah, cenderung sporadis, tidak ada dasar hukum, dan brutal," kata Alghiffari. (Baca: LBH Jakarta: Tidak Ada Dasar Hukum Penangkapan Orang Pakai Kaus Palu Arit)