JAKARTA, KOMPAS.com - Raden Ajeng Kartini percaya bahwa kaum perempuan di Hindia Belanda seharusnya mendapat hak atas pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki. Pemikiran ini bukan didasarkan Kartini karena alasan emosionalnya semata.
Saat itu, perempuan Hindia Belanda memang tidak leluasa untuk mengenyam pendidikan, termasuk Kartini sendiri, meskipun dirinya berada di lingkungan bangsawan.
Menurut Kartini, kaum perempuan saat itu sulit untuk berkegiatan di luar rumah, termasuk bersekolah, karena terkungkung oleh adat istiadat yang mewajibkan perempuan dipingit ketika sudah akil baligh.
Dia sendiri pun mengalami tradisi itu ketika berusia 12 tahun dan dilarang untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi oleh sang ayah.
Namun, pemikirannya berkata lain. Kartini merasa kelak kaum perempuan akan memiliki pengaruh dan tugas besar sebagai seorang ibu sekaligus pendidik bagi anak-anaknya. Karena itu, dia berpendapat bahwa seorang perempuan harus terdidik dengan baik.
Hal ini pun diungkap Kartini dalam suratnya kepada Prof Anton beserta istrinya, yang ditulis pada 4 Oktober 1902.
"Apabila kami di sini minta, ya mohon, mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini."
"Melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik umat manusia yang utama," tulis Kartini.
Kartini meyakini kaum perempuan lah yang pertama kali memikul kewajiban sebagai pendidik. Seorang perempuan akan menjadi seorang ibu yang akan menjadi pusat kehidupan rumah tangga.
Seorang ibu, menurut Kartini, dibebankan tugas besar untuk mendidik anak-anaknya dan membentuk budi pekertinya.
Dengan demikian, anak perempuan harus mengenyam pendidikan yang baik pula agar kelak bisa menjalani tugas dalam mendidik anak-anaknya.
Dia menyadari betul bahwa mendidik bukan hanya sekadar membuat seseorang menjadi pintar.
Ilmu pengetahuan dan intelektualitas seseorang tidak akan berarti apa-apa tanpa diimbangi dengan watak budi pekerti yang baik. Dan itu hanya bisa didapatkan melalui pendidikan dari seorang ibu dalam sebuah keluarga.
"Perempuanlah, kaum ibu yang pertama-tama meletakkan bibit kebaikan dan kejahatan dalam hati sanubari manusia, yang biasanya terkenang dalam hidupnya."
"Bukan saja sekolah yang harus mendidik jiwa anak, tetapi juga yang terutama pergaulan di rumah harus mendidik! Sekolah mencerdaskan pikiran dan kehidupan di rumah tangga hendaknya membentuk watak anak itu!" ungkap Kartini.
Kaum ibu merupakan pusat kehidupan rumah tangga, begitu kata Kartini dalam suratnya. Sebagai pusat kehidupan, seorang ibu-lah yang akan pertama-tama menentukan arah perkembangan seorang anak.
Setiap anak tentu akan memiliki peran menentukan arah perjalanan sebuah bangsa. Kartini menyebutnya sebagai sebuah pekerjaan memajukan peradaban yang secara alamiah dibebankan kepada perempuan.