JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Asia Justice and Rights (AJAR), Galuh Wandita, menilai bahwa Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang digelar kemarin, merupakan salah satu langkah yang berkontribusi dalam membangun dialog antarpihak di Indonesia.
Di sisi lain, Galuh melihat Simposium terasa sia-sia jika tidak diikuti oleh langkah konkret untuk menyelesaikan tragedi 1965 dan berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia lain yang terjadi di masa lalu.
Oleh karena itu, negara diminta untuk memenuhi hak korban atas kebenaran, hak atas keadilan, dan hak atas reparasi, serta jaminan tidak terulang di masa depan.
"Negara harus memastikan bahwa langkah tersebut harus didasarkan atas penghargaan dan pemenuhan hak dan martabat korban," ujar Galuh melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (20/4/2016).
Lebih lanjut Galuh menjelaskan, sudah waktunya Indonesia berani menatap masa lalu dengan mengakui pelanggaran HAM di masa lalu.
Galuh percaya bahwa upaya rekonsiliasi dan pemenuhan hak korban akan memakan waktu yang lama, bahkan lintas generasi.
Namun, pasca-Simposium, pemerintah dinilai harus segera memulai upaya pemulihan hak korban dan jangan lagi tertinggal dengan berbagai upaya masyarakat sipil dan komunitas korban yang sudah dilakukan.
"Upaya pemulihan harus segera dilakukan, terlepas adanya pernyataan beberapa pejabat pemerintah yang mengatakan negara enggan untuk melakukan permintaan maaf," ucapnya.