Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iqrak Sulhin
Dosen Kriminologi UI

Dosen Tetap Departemen Kriminologi UI, untuk subjek Penologi, Kriminologi Teoritis, dan Kebijakan Kriminal.

Adakah Narkoba di Lapas?

Kompas.com - 28/03/2016, 15:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Kompas.com, Sabtu 26 Maret 2016, memberitakan lima penghuni Rumah Tahanan Negara Malabero, Bengkulu, Jumat malam tewas dalam kebakaran.

Kejadian ini berkaitan dengan penggeledahan yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Bengkulu, yang mendapatkan perlawanan dari tahanan.

Pertanyaannya, mengapa tahanan/narapidana melakukan perlawanan? Apakah ini berarti ada (narkoba) yang disembunyikan di dalam penjara?

Pertama sekali, saya turut berduka atas kejadian tersebut. Cukup mengejutkan mengingat penjara bukanlah hotel yang bila ada keadaan darurat, evakuasi relatif mudah dilakukan. Terlalu banyak pintu yang harus dibuka gemboknya di dalam penjara.

Kejadian ini harus menjadi perhatian serius Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dan kementerian Hukum dan HAM umumnya.

Menjawab pertanyaan adakah narkoba di Lapas?, saya teringat pada buku yang ditulis oleh Kathryn Bonella berjudul Hotel Kerobokan (terbit 2009), yang mendeskripsikan keseharian kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali.

Kerobokan is drugs paradise. Drugs all the time. No special time for drugs. Drugs twenty-four hours....Honestly, Kerobokan is full of drugs. The dealers are working with the prison guards, that’s Indonesia.

Ini merupakan kutipan wawancara Kathryn Bonella dengan dua orang narapidana di dalam penjara tersebut (lihat halaman 131).

Pada saat buku ini terbit, tentu muncul berbagai bantahan dari pihak Pemasyarakatan. Namun demikian, peredaran narkoba di dalam penjara bukanlah sesuatu yang baru dalam perbincangan tentang Pemasyarakatan.

Berbagai pemberitaan media massa cukup banyak membuktikan. Terlepas dari kemungkinan generalisasi yang berlebihan atau adanya masalah metodologis dalam penulisan buku tersebut, saya kira Kathryn Bonella memberikan catatan penting dalam sejarah Pemasyarakatan Indonesia.

Pada tahun 2008-2009, saya sempat terlibat di dalam berbagai penelitian untuk penyusunan cetak biru pembaharuan pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan. Temuan yang paling penting bagi saya dari penelitian dan penyusunan cetak biru tersebut adalah kenyataan akan sangat kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh Pemasyarakatan.

Sebuah perpaduan antara level mikro dan makro, masalah teknis dan fasilitatif, manajemen organisasi dan sumber daya manusia, hingga kuatnya pengaruh budaya penjara.

Di dalam dokumen cetak biru yang telah ditetapkan menjadi peraturan menteri Hukum dan HAM pada tahun 2009 itu, diakui adanya berbagai masalah pada pelaksanaan teknis Pemasyarakatan.

Contohnya seperti sulitnya memenuhi standar minimum perlakuan terhadap tahanan/narapidana, terjadinya kekerasan, kerusuhan, hingga pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh petugas, termasuk melakukan pelanggaran seperti melakukan pengutan liar, memberikan keistimewaan pada tahanan/narapidana tertentu, hingga mengedarkan narkotika.

Daily Mail Penjara Kerobokan Bali
Pertanyaan adakah narkoba di Lapas tentu tidak bisa digeneralisasi jawabannya. Pada masa Amir Syamsuddin menjabat sebagai menteri Hukum dan HAM, dibantu oleh Denny Indrayana sebagai wakil menteri, soal pelanggaran disiplin di dalam Lapas/Rutan juga menjadi isu penting.

Bahkan kementerian pada saat itu mencanangkan program anti ‘halinar’, kependekan dari anti hape (handphone)-pungli-narkoba.

Terlepas dari banyaknya bantahan terhadap tulisan Kathryn Bonella, munculnya program anti halinar ini jelas memberikan indikasi masih beredarnya narkoba di dalam rutan/lapas.

Pengembangan berbagai kasus narkoba yang ditemukan di masyarakat juga memperlihatkan bagaimana peredaran bahkan dapat dikendalikan oleh tahanan/narapidana di dalam rutan/lapas. Lantas apa yang menyebabkannya?

Berbagai penelitian, termasuk yang klasik dari Donald Clemmer (1940) dan Gresham M Sykes (1971) menjelaskan bahwa penjara itu pada dasarnya sebuah entitas budaya yang mengembangkan corak kehidupannya sendiri.

Di dalamnya terjadi pola interaksi yang khas antara narapidana dengan narapidana dan narapidana dengan petugas penjara.

Pola interaksi atau dalam arti lebih luas disebut dengan budaya penjara dibentuk oleh penghuni (narapidana dan petugas), dan merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan atau untuk mengurangi apa yang dikatakan oleh Sykes sebagai the pain of imprisonment.

Bila mengacu pada dokumen cetak biru, permasalahan ini cenderung dilihat sebagai puncak gunung es, dan berawal dari apa yang disebut dengan permasalahan struktural. Dalam hal ini pemasyarakatan berhadapan dengan masalah yang lebih mendasar, yaitu berkenaan dengan anggaran, jumlah dan kualitas sumber daya manusia.

Fungsi yang besar, tidak hanya sebagai bagian akhir dari sistem peradilan pidana (fungsi lembaga pemasyarakatan), namun juga berperan dalam tahap pre-adjudikasi dan adjudikasi (fungsi rumah tahanan dan balai pemasyarakatan), namun tidak ditopang oleh anggaran dan sumber daya manusia yang proporsional.

Hanya saja, bila melihat masih berlarut atau berulang-ulangnya masalah ini, pelanggaran di dalam rutan/lapas, baik yang dilakukan oleh narapidana maupun petugas adalah indikasi kuatnya budaya penjara.

Saya cenderung melihat budaya penjara ini dalam kerangka ‘realitas subjektif’ yang dijelaskan Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Konsep ini pada dasarnya menjelaskan tentang keterkaitan antara lingkungan dengan kondisi mental (kesadaran subjektif) manusia.

Pelanggaran-pelanggaran kecil yang awalnya sedikit, namun dilakukan berulang-ulang dan telah berlangsung dalam waktu yang sangat lama, berubah menjadi sebuah budaya atau kesadaran subjektif.

Dampak terburuk dari kondisi ini adalah pelanggaran dianggap biasa atau normal. Orang yang tidak melanggar sangat mungkin dianggap naif. Bilapun ia tetap tidak ingin melakukan pelanggaran, namun karena berada dalam lingkungan yang sama, maka setidaknya ia akan ‘diam’ saja.

Dalam kerangka ini, tidak mengherankan bila muncul reaksi keras terhadap faktor yang sewaktu-waktu merusak kebiasaan tersebut. Katakanlah adanya perubahan kebijakan atau seperti yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi dengan melakukan penggeledahan untuk menemukan kemungkinan adanya pelanggaran berkaitan dengan narkoba.

Dalam logika awam, bila tidak salah atau tidak menyimpan sesuatu yang salah, mengapa harus melawan? Biarkan saja penggeledahan itu berlangsung sehingga dapat membuktikan bahwa memang tidak ada narkoba di dalam rutan/lapas.

Cetak biru 2009 sebenarnya telah dijadikan momentum oleh Sistem Pemasyarakatan Indonesia (tidak hanya Lembaga Pemasyarakatan) untuk kembali berbenah.

Publik perlu mengetahui bahwa memang saat ini Pemasyarakatan Indonesia memiliki fungsi yang besar namun difasilitasi secara kurang proporsional.

Per Maret 2016 ini, berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan, terdapat 183.688 tahanan dan narapidana di 477 rutan/lapas seluruh Indonesia. Data tahun 2015, perbandingan antara petugas dengan warga binaan pemasyarakatan adalah 1:45.

Reuters/International Business Times Penjara di Papua Niugini.
Dapat dibayangkan kebutuhan anggaran apabila tiap narapidana setiap hari memerlukan makanan, air, layanan kesehatan. Termasuk kebutuhan untuk perawatan gedung atau pengadaan peralatan/perlengkapan keamanan dan pembinaan.

Dari sisi pengamanan, perbandingan 1:45 bisa jauh lebih buruk, karena jelas tidak semua petugas/pegawai pemasyarakatan bertugas dalam pengamanan.

Satu hal lain yang juga menjadi perhatian serius cetak biru adalah bidang pengawasan terhadap petugas. Idealnya, pengawasan tidak hanya dilakukan secara internal oleh atasan langsung atau oleh inspektorat di kementerian, namun perlu melibatkan pihak eksternal untuk menjamin akuntabilitas.

Peran Badan Narkotika Nasional, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di dalam pengawasan tahanan atau narapidana perlu dinilai positif. Termasuk keterlibatan lembaga non pemerintah.

Perbaikan dalam hal pengawasan ini menurut saya sangat penting dalam jangka pendek. Pelanggaran yang terjadi berulang-ulang di tingkat teknis dapat dinilai sebagai belum maksimalnya pengawasan oleh atasan langsung.

Saya sebenarnya tidak ingin berprasangka buruk, namun pelanggaran dapat terpelihara karena pimpinan juga turut melakukan pelanggaran atau mungkin membiarkan. Seperti tahun 2011, ketika BNN membongkar keterlibatan kepala Lapas Narkotika Nusakambangan yang menerima aliran dana dari hasil transaksi narkoba.

Terakhir, menutup tulisan singkat ini saya ingin menegaskan kembali bahwa melihat permasalahan Pemasyarakatan tidak bisa parsial. Banyak faktor yang saling berkaitan.

Sayangnya belum ada political will yang kuat. Mungkin karena publik masih menganggap nasib tahanan/narapidana tidak penting. Tapi sayangnya, publik selalu hanya ‘marah’ saat manusia yang dianggap tidak penting dan manusia yang mengurusinya itu berulah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com