JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat media sosial Nukman Lutfie menilai, tidak ada yang salah terkait komunikasi yang dilakukan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo lewat media sosial selama ini.
Sikap keduanya, dianggap Nukman, membuka ruang kepada publik untuk ikut berpartisipasi dalam menyikapi suatu isu.
"Pemimpin yang mau terbuka di media sosial lebih bagus, mendidik publik ikut berpartisipasi dalam politik," kata Nukman dalam diskusi Satu Meja dengan topik "Saling Sindir Negarawan" di Kompas TV, Rabu (23/3/2016) malam.
Nukman mengatakan, kalaupun Jokowi dan SBY saling sindir di media sosial, hal itu tidak menjadi masalah meskipun publik kemudian ikut bereaksi. (baca: Istana: Pendukung SBY Terlalu Reaktif)
"Biar saja terbuka. Kita tidak usah takut terjadi konflik," kata Nukman.
Nukman memberi contoh selama pemilu presiden 2014. Ketika itu, kata dia, media sosial sangat kacau. Salah satunya banyaknya fitnah terhadap kandidat.
"Tapi pemilu sukses, ngga ada apa-apa. Apa yang ada di media sosial masih level wacana, dan wacana itu makin banyak makin bagus, makin terbuka makin bagus. Negara makin hebat kalau rakyat dibiarkan adu wacana," kata Nukman.
Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan. Menurut dia, media sosial adalah instrumen modern dalam berdemokrasi. Nantinya, kata dia, netizen akan menjadi dewasa.
"Ilustrasinya begini, ketika pisau ditemukan di zamannya, pisau mengalahkan batu. Pisau dipakai ibu memasak untuk keluarganya. Tapi bagi calon pembunuh, pisau tetap untuk membunuh. Jadi kembali ke penggunanya. Medsos sekarang tidak mungkin kita tolak," kata Hinca.
Hal itu disampaikan Nukman dan Hinca menyikapi pendapat Pengamat politik dari Polcomm Institute dalam diskusi yang sama. (baca: SBY: Pak Jokowi, Jangan Mau Kita Diadu Domba)
Heri mengatakan, memang tidak ada yang salah dengan kebiasaan SBY berkomentar di media sosial. Namun, kata dia, akan menimbulkan masalah ketika pernyataan yang disampaikan SBY itu berupa kritikan dan dibalas Jokowi.
Mengingat SBY dan Jokowi merupakan tokoh nasional, kata dia, kritikan itu bakal memancing reaksi publik. Terlebih lagi jika para pendukung kedua pihak ikut mengomentari dan media massa mengangkatnya sehingga membuat panas.
Ia menyinggung situasi selama kampanye Pilpres 2014. Dampak saling sindir di media sosial ketika itu, kata Heri, antarkeluarga banyak yang tidak berkomunikasi dalam beberapa waktu karena berbeda pilihan calon pemimpin.
Seharusnya, menurut Heri, medsos tidak dipakai untuk melontarkan kritik oleh elite nasional seperti Jokowi dan SBY. Perbedaan pendapat yang disampaikan secara terbuka, kata dia, bakal menimbulkan banyak tafsiran publik. (baca: SBY Merasa Ada yang "Kebakaran Jenggot" Menyikapi "Tour de Java")
Menurut Heri, sebaiknya Jokowi dan SBY melakukan komunikasi secara langsung. Ia mempertanyakan mengapa tradisi baik yang dibangun ketika peralihan kepemimpinan pada 2014 lalu, kini tidak dilanjutkan.