Saat berangkat ke kantor tadi pagi, saya melihat seorang perempuan memacu mobilnya di jalan tol dengan kecepatan nyaris 100 km/jam. Matanya lebih sering menatap cermin di depannya daripada ke jalanan karena ia mengemudi sambil merias mukanya.
Saat dia semakin mendekati dan nyaris masuk ke jalur saya, saya jadi terkejut sehingga ponsel yang sedang saya pakai mengetik saya lepaskan agar tangan saya bisa meraih kemudi. Ponsel itu jatuh ke gelas kopi yang saya apit di antara paha saya, membasahi celana dan membuat ponsel itu mati sama sekali.
Semua itu gara-gara perempuan yang mengemudi ugal-ugalan sambil melakukan hal lain yang semestinya tak dilakukan di balik stir.
Kisah di atas adalah cerita rekaan. Namun pernahkah kita melakukan hal yang serupa? Bukan soal mengemudinya, tapi menyalahkan seseorang atas tindakannya, padahal kita sendiri secara tidak sadar melakukan hal yang sama, atau bahkan lebih buruk. Jarang kita bercermin saat memberi kritik pada orang lain.
Dalam banyak kesempatan, saya menjadi tempat curhat teman-teman saya. Di antaranya adalah seorang manajer yang “dilengserkan” dan digantikan oleh orang baru.
Setiap kali bertemu, dia membahas topik yang sama, yakni soal penggantinya yang tidak becus bekerja, bagaimana orang baru itu tidak mengerti sistem yang sudah dibangun, bagaimana ia tidak disukai anak buahnya, dan berbagai cerita miring lain.
Saat saya tanya balik mengapa dia diganti, maka semakin banyak orang yang dianggapnya tidak becus dan bersekongkol menyingkirkannya. Saya jadi bertanya-tanya, bila banyak orang tidak sependapat dengan dia, siapa sebenarnya yang tidak becus? Jangan-jangan dia “lupa ngaca” bahwa dahulu dia melakukan hal yang lebih buruk.
Banyak orang seringkali menggunakan kritik untuk menjatuhkan orang lain tapi tidak menyadari dirinya juga tidak kompeten. “Supaya saya tidak terlihat buruk-buruk amat, maka buka saja keburukan orang lain,” begitu taktik mereka yang tidak mampu berkompetisi secara sehat.
Tentu tidak selamanya kritik itu buruk. Mengkritik sejatinya boleh-boleh saja dilakukan. Tapi alangkah baiknya bila dilakukan dengan rasa cinta dan semangat ingin memperbaiki.
Tidaklah bijak bila kita menganggap semua kritikus adalah haters. Ingat, tidak semua orang membencimu. Beberapa orang mengatakan hal yang sebenarnya.
Saat saya mengkritik anak saya yang suka makan burger dalam jumlah banyak, saya tidak sedang membencinya. Justru saya menjaganya agar tidak kegemukan. Saya melakukannya dengan cinta, walau dia dengan muka cemberut akan berteriak, “Bapak jahat!”
Kritik yang membangun inilah yang barangkali disampaikan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi jangan jor-joran melakukan pembangunan infrastruktur.
Kritik SBY ini akan menjadi sahih bila ia juga memberi contoh yang sama saat dia memerintah, sehingga Jokowi tidak perlu menjawabnya dengan mengunjungi proyek infrastruktur yang mangkrak di Hambalang.
Kita memang perlu berhati-hati dalam melontarkan kritik. Kita musti bercermin dahulu apakah kita cukup bersih untuk “melempar batu” pada orang yang dianggap bersalah. Jangan-jangan kritik kita malah ditanggapi nyinyir karena kita bukan orang yang tanpa cela juga.