Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, sampai saat ini dirinya belum bisa memberikan jawaban apakah kewenangan tersebut akan disetujui atau tidak oleh Presiden Jokowi.
Menurut dia, usulan tersebut masih harus dibicarakan dengan pihak-pihak terkait dan perlu dikaji lebih mendalam sebelum akhirnya diputuskan.
"Ya, kita lihat nanti. Saya juga harus melihat (pendapat) DPR," kata Luhut, di Pekanbaru, Rabu (2/3/2016).
Ia juga menegaskan, saat ini pemerintah masih berfokus pada upaya pengejaran pelaku-pelaku teror di daerah dan penguatan koordinasi antara lembaga pemberantasan terorisme. Usulan kewenangan interogasi belum menjadi fokus perhatian pemerintah untuk dibicarakan.
(Baca: Kepala BIN Kini Minta Kewenangan Interogasi Terduga Teroris)
"Kita selesaikan satu-satu dululah, terorisnya diselesaikan dulu. Tapi saya kira koordinasi makin baik, polisi dan TNI. Tadi di Poso juga ada kemajuan soal pengejaran teroris kelompok Santoso," ujar Luhut.
Sebelumnya, permintaan kewenangan interogasi disampaikan Kepala BIN Sutiyoso saat rapat kerja dengan Komisi I DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/2/2016). Sutiyoso berharap kewenangan ini bisa diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Anti-Terorisme yang akan segera dibahas oleh DPR dan pemerintah.
"Untuk mendalami sebuah informasi, kami kan perlu memanggil orang. Itu saja," kata Sutiyoso seusai rapat tertutup.
(Baca: Imparsial: BIN Tinggal Minta Info dari Polisi, Tak Perlu Interogasi)
Namun, usulan kewenangan interogasi mendapat kritik dari sejumlah pegiat masyarakat sipil. Wakil Koordinator Kontras, Puri Kencana Putri, mengatakan, kewenangan tersebut berpotensi memicu tumpang tindih kewenangan yang selama ini berada di bawah kepolisian.
Selain itu, Puri khawatir ke depannya akan ada praktik interogasi hitam yang tidak pernah diakui oleh BIN. Pasalnya, BIN selalu merahasiakan semua upaya, pekerjaan, kegiatan, sasaran, ataupun informasi yang berkaitan dengan fungsi dan aktivitas intelijen.
"Dalam konteks ini tentu saja ada hak-hak sipil yang potensial dilanggar apabila praktik ini akhirnya diadopsi berdasarkan UU," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.