JAKARTA, KOMPAS - Teror bom Thamrin 14 Januari 2016 telah beralih dari sebuah peristiwa menjadi kata, tafsir, dan wacana.
Sebagai tafsir tentu saja peristiwa bom Thamrin baik untuk dielaborasi secara kritis, terbuka, dan demokratis. Ia perlu diuji dengan tafsir lain secara santun. Jangan berhenti dalam klaim pembenaran ala negara–Kultuurstaat, memakai istilah Friedrich Nietzsche—yang bisa membekukan gairah intelektual hingga menjauh dari hasrat menemukan kebenaran (the will to truth).
Berbeda dengan negara (Menko Polhukam, Polri, dan BIN) yang menggunakan bukti forensik, politik, dan intelijendalam menjelaskan tafsirnya, tulisan ini menggunakan instrumen semiotika—berupa teks dan bahasa visual—yang bisa digunakan untuk memberikan pemahaman dan kesadaran tentang peristiwa itu.
"Simulacra"
Sejak menit pertama disiarkan televisi, beberapa kesimpulan telah dibuat, tetapi hanya simulacra, berasal dari keterampilan bahasa tanpa indikator, apropriasi, dan bukti material.
Pertama, benarkah bom Thamrin adalah replika bom Paris 13 November 2015, seperti yang berkembang di media?
Secara jumlah, korban tewas bom Paris 153 orang, sedangkan bom Thamrin "hanya" tujuh, sebagian besar malah pelaku. Bom Paris direncanakan sangat detail, meneror beberapa sisi kota termasuk di lokasi Presiden Francois Hollande. Bom Thamrin? Hanya terjadi di seputaran Jalan MH Thamrin dan dilakukan para amatiran. Terbukti tembakan mereka yang tidak mematikan dan ledakan bom yang malah membunuh mereka dibandingkan orang lain. Informasi bom meledak di Slipi, Cikini, dan Palmerah untuk menganalogikan dengan Paris ternyata hoax.
Kedua, peneror mencoba menyerang simbol-simbol Amerika Serikat. Kesimpulan ini juga terlalu prematur, apakah Starbucks cukup kuat merepresentasikan AS? Di situ ada Burger King, KFC, dan McDonald's yang lebih kuat simbol kapitalisme Amerikanya. Bahkan Kedutaan Besar AS atau Kantor Perwakilan PBB di sekitar itu lebih kuat sebagai jantung dan darah AS dan sekutunya. Salah satu pelaku, Afif, menggunakan topi Nike, bercelana jins, dan bersepatu kets, tipikal fashion anak muda Amerika. Pesan semiotis anti AS mana yang mau dijelaskan?