JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, persoalan pencatutan nama Presiden Joko Widodo yang menyeret Ketua DPR Setya Novanto bisa saja mengganggu hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Jimly menyarankan agar ke depan dibuat suatu etika profesi bagi pejabat dan penyelenggara negara.
"Sebagai pribadi, Presiden dan Wapres tersinggung dong. Bagaimana ketuanya (Novanto) menyindir, berbicara seperti itu, kan tidak enak. Itu pasti mengganggu secara institusi," ujar Jimly di Istana Wapres, Jakarta Pusat, Selasa (8/12/2015).
Menurut Jimly, masalah etika yang menimpa Setya Novanto perlu dipikirkan mekanisme penyelesaiannya agar tidak merusak hubungan DPR dan lembaga kepresidenan.
Selain itu, pelanggaran etika bisa jadi merusak citra kelembagaan yang diwakili. (Baca: Akbar: Presiden-Wapres Akan Laporkan Novanto ke Polisi)
Jimly mengatakan, pengaturan etika profesi bagi pejabat dan penyelenggara negara dapat dibuat. Hal ini juga berguna untuk menghindari konflik kepentingan.
"Jadi, konflik kepentingan diatur dan etika diatur. Yang penting Presiden dan Wapres kompak. Jangan sampai tidak biar negara tidak terpecah belah," kata Jimly.
Masalah ini muncul setelah Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). (Baca: Setelah Periksa Novanto, Ada Anggota MKD yang Minta Pengusutan Distop)
Aduan itu terkait pembicaraan dalam pertemuan antara Novanto, pengusaha M Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin di Ritz Carlton, Jakarta, pada 8 Juni 2015.
Dalam pertemuan itu disebut adanya permintaan saham kepada Freeport dengan mencatut nama Presiden-Wapres. (Baca: Setya Novanto Banyak Jawab "Tidak Tahu, Lupa" Saat Ditanya di MKD)
MKD tengah mengusut dugaan pelanggaran kode etik Novanto. Adapun Kejaksaan Agung mengusut dugaan adanya pemufakatan jahat dalam kasus itu.
Presiden baru bereaksi keras setelah membaca transkrip pembicaraan secara utuh dari rekaman pertemuan itu. (Baca: Presiden Jokowi Sudah Menahan Amarah ke Setya Novanto sejak Pagi)
"Saya tidak apa-apa dikatakan Presiden gila! Presiden sarap, Presiden koppig, tidak apa-apa. Tetapi, kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Tidak bisa. Ini masalah kepatutan, kepantasan, moralitas. Itu masalah wibawa negara," kata Jokowi dengan nada tinggi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.