JAKARTA, KOMPAS.com – Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpendapat agar perkara dugaan korupsi melalui permufakatan jahat yang dilakukan Ketua DPR RI Setya Novanto tidak diusut Kejaksaan Agung.
Fickar lebih memilih kasus ini diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Lebih baik kasus Setya Novanto ini diambil atau disupervisikan ke KPK saja, agar pengusutan perkara ini tidak 'masuk angin'," ujar Fickar kepada Kompas.com, Kamis (3/12/2015).
Menurut Fickar, pengusutan sebuah perkara bisa "masuk angin" atau terjadi penyimpangan di lembaga penegak hukum mana saja, termasuk KPK.
Namun, jika dilihat dari rekam jejak sekaligus kultur kerja lembaga penegak hukum, Fickar melihat hanya KPK yang mumpuni mengusut perkara yang melibatkan Novanto itu.
Di sisi lain, KPK pun diharapkan proaktif menyelidiki perkara tersebut.
Apalagi, menurut Fickar, dalam persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI Rabu hingga Kamis ini, unsur korupsi sudah terlihat jelas.
Hal itu sudah dapat dijadikan alat bukti oleh penyidik KPK.
"Apalagi, keterangan saksi Maroef Sjamsoeddin, arah pengkondisian permintaan saham sepertinya sudah cukup jelas. Ini sudah bisa jadi modal KPK menindaklanjuti perkara ini," ujar Fickar.
Meski demikian, Fickar tetap mengapresiasi langkah Jaksa Agung Muda Pidana Khusus yang telah memulai pengumpulan bahan keterangan atas perkara tersebut.
Diberitakan, sidang MKD tentang dugaan pelanggaran etika Novanto dilanjutkan, Kamis ini.
Presiden Direktur PT Freeport Marsekal Muda TNI (Purn) Maroef Sjamsoeddin dihadirkan menjadi saksi.
Dalam kesaksiannya, Maroef mengaku sudah ada pembicaraan yang tidak etis yang dilakukan Setya dan Riza.
Salah satunya adalah soal permintaan saham untuk Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Setya dan Riza juga berusaha meyakinkan Maroef bahwa kontrak Freeport Indonesia akan dilanjutkan pemerintah. Maroef menyebut, pembicaraan itu sangat tidak etis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.