Dia meyakini, rekaman percakapan tersebut legal dijadikan bukti di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
"Kalau misalnya saya menyadap orang yang akan membunuh saya, apa saya melanggar? Kan tidak. Umpamanya orang ini merekam untuk melindungi dirinya," ucap Didu seusai menyerahkan rekaman tersebut ke Sekretariat MKD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/11/2015).
(Baca: Fadli Zon: Mungkin Pak Novanto Dijebak)
Didu enggan mengungkap siapa yang merekam percakapan tersebut. Dia juga tidak mau bicara dari mana Kementerian ESDM mendapatkan rekaman itu.
Namun, dia meminta publik untuk tidak terjebak dengan pihak-pihak yang mempermasalahkan adanya rekaman tersebut. (Baca: Bela Setya Novanto, Fadli Zon Sebut Bukti Rekaman Bisa Direkayasa)
Sebelumnya, rekaman percakapan ini memang dipermasalahkan sejumlah pihak, seperti Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah. (Baca: "Luhut", "Darmo", dan "Ridwan" Disebut dalam Transkrip Pencatutan Nama Presiden)
Keduanya menganggap rekaman tersebut ilegal karena merekam percakapan pribadi pejabat negara secara diam-diam.
Dalam laporannya ke MKD, Senin (16/11/2015) kemarin, Sudirman menyebut Setya Novanto bersama pengusaha minyak Reza Chalid menemui bos PT Freeport sebanyak tiga kali.
Pada pertemuan ketiga 6 Juni 2015, Novanto meminta saham sebesar 11 persen untuk Presiden dan 9 persen untuk Wapres demi memuluskan renegosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport.
Novanto juga meminta agar diberi saham suatu proyek listrik yang akan dibangun di Timika dan meminta PT Freeport menjadi investor sekaligus off taker (pembeli) tenaga listrik yang dihasilkan dalam proyek tersebut.
Saat itu, Sudirman turut menyampaikan bukti berupa transkrip pembicaraan antara Novanto, pengusaha, dan petinggi PT Freeport.