JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Muradi, menilai, putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah telah memecahkan kebuntuan permasalahan dalam berdemokrasi. Keputusan tersebut juga dianggap bagian dari mengedepankan penghargaan atas hak konstitusi publik dalam pilkada.
"Keputusan MK ini mengurangi kemungkinan ancaman kebuntuan demokasi yang akan merugikan publik untuk mendapatkan pemimpinnya," kata Muradi melalui siaran pers, Selasa (29/9/2015).
Muradi mengatakan, keputusan tersebut dapat menghindari hak politik publik yang tersandera dalam pilkada. Terlebih lagi, publik diberi pilihan setuju atau tidak setuju kepada pasangan calon tunggal tersebut.
"Saya rasa apa yang diputuskan oleh MK adalah bagian dari skema untuk tetap mengupayakan terjaganya hak politik publik," kata Muradi.
Muradi menganggap, langkah ini juga mengembalikan proses politik ke publik sebagai bagian dari hak warga negara. Oleh karena itu, dia meminta Komisi Pemilihan Umum dapat menerapkan peraturan tersebut dalam pelaksanaan pilkada serentak Desember 2015.
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang mengamanatkan pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah harus menjamin terwujudnya kekuasan tertinggi di tangan rakyat.
Selain itu, MK menimbang perumusan norma UU Nomor 8 Tahun 2015, yang mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi, yang menyebabkan kekosongan hukum.
Hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada. Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih. Permohonan tersebut diajukan oleh pakar komunikasi politik Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru. Mereka mengajukan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. (Baca: MK Putuskan Calon Tunggal Tetap Mengikuti Pilkada Serentak)
Pada intinya, para pemohon merasa hak konstitusional pemilih dirugikan apabila pemilihan kepala daerah serentak di suatu daerah mengalami penundaan hingga 2017. Pasalnya, UU Pilkada mengatur bahwa syarat minimal pelaksanaan pilkada harus diikuti oleh dua pasangan calon kepala daerah.
Saat ini, ada tiga daerah yang memiliki calon kepala daerah tidak lebih dari satu pasangan. Daerah itu adalah Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). KPU telah menyatakan bahwa penyelenggaraan pilkada di ketiga daerah itu ditunda hingga pilkada periode berikutnya, yakni 2017. (Baca: MK: Calon Tunggal Dipilih Melalui Kolom "Setuju" dan "Tidak Setuju")
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.