Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wapres Tepis Kekhawatiran Kembalinya Krisis 1998

Kompas.com - 21/08/2015, 20:50 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Presiden Jusuf Kalla menepis kekhawatiran Indonesia bakal kembali mengalami krisis keuangan seperti yang terjadi pada 1998. Menurut Kalla, kondisi saat ini berbeda dengan kondisi 1998-1999.

"Saya kira berbeda, 1999 itu kan krisis yang dirusak perbankan. Karena peraturannya lebih ketat sekarang, perbankan masih bisa cukup baik. Memang yang hati-hati ialah ekonomi nasional harus efisien, itu saja," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Jumat (21/8/2015).

Menurut Kalla, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS serta lesunya perekonomian nasional merupakan fenomena global. Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami situasi serupa. Kalla bahkan menyebut kondisi di Malaysia lebih parah dibandingkan dengan Indonesia.

"Ini sekali lagi gejala dunia karena China. Malaysia lebih hebat lagi turunnya, minyak turun, saham turun, maka terjadi pelemahan-pelemahan mata uang akibat ekonomi turun. Artinya, rupiah yang turun itu dengan dollar, berarti dollar menguat, orang banyak lari, ekonomi di Asia itu menurun, banyak orang keluar dari Asia di Amerika," tutur Kalla.

Kelesuan ekonomi juga dialami negara lain di kawasan Asia Tenggara, seperti Thailand dan Myanmar. Pasca-devaluasi yuan, ringgit Malaysia, kyat Myanmar, hingga bath Thailand ikut rontok. Dihitung sejak awal tahun hingga Agustus (year to date), kyat turun 24 persen, ringgit 18,03 persen, serta bath sebesar 8 persen terhadap mata uang dollar AS. Kondisi ini juga diikuti dengan rontoknya bursa saham Malaysia yang turun 15,07 persen dan indeks bursa di Thailand yang melemah 5,56 persen.

Adapun Malaysia merupakan mitra dagang penting Indonesia. Bank Sentral Malaysia juga merupakan salah satu pemegang obligasi Pemerintah Indonesia yang cukup besar.

Kalla mengakui bahwa kelesuan yang dihadapi negara tetangga tersebut bisa memengaruhi perbankan Indonesia. Kendati demikian, ia memprediksi dampaknya tidak akan seperti 1998.

"Bank bisa memang ada akibat ke bank, tetapi mudah-mudahan tidak seperti itu. Akibatnya, ekonomi sudah terglobal, tidak bisa lagi you batas-batasi. Tidak bisa katakan biar ekonomi China turun, kita tidak, (itu) tidak mungkin karena dia beli dari kita menurun dan dia devaluasi yuan-nya. Itu artinya dia bisa jual lebih murah ke kita, menyaingi produk kita," tutur Kalla.

Hari ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mendekati level psikologis 14.000. Data Bloomberg pada pukul 11.45 WIB menunjukkan, rupiah anjlok ke posisi 13.963 per dollar AS, dibandingkan penutupan kemarin pada level Rp 13.885.

Untuk menghadapi dollar AS yang semakin perkasa, pemerintah terus mengupayakan pengurangan pemakaian dollar. Bank Indonesia telah mengatur secara ketat pemakaian dollar AS di dalam negeri. Di samping itu, lanjut Kalla, pemerintah akan berupaya mengurangi impor.

"Kemudian diusahakan ekspor, tetapi tidak mudah. Karena itu, produksi dalam negeri-lah harus naik. Sempit yang bisa dibuat, tetapi harus dibuat," ucap Kalla.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Mulai Rangkaian Rakernas dengan Nyalakan Api dari Mrapen, PDI-P: Semoga Kegelapan Demokrasi Bisa Teratasi

Mulai Rangkaian Rakernas dengan Nyalakan Api dari Mrapen, PDI-P: Semoga Kegelapan Demokrasi Bisa Teratasi

Nasional
Pertamina Patra Niaga Jamin Ketersediaan Avtur untuk Penerbangan Haji 2024

Pertamina Patra Niaga Jamin Ketersediaan Avtur untuk Penerbangan Haji 2024

Nasional
BNPT Paparkan 6 Tantangan Penanganan Terorisme untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran

BNPT Paparkan 6 Tantangan Penanganan Terorisme untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Komisi X DPR Sepakat Bentuk Panja Pembiayaan Pendidikan Buntut Kenaikan UKT

Komisi X DPR Sepakat Bentuk Panja Pembiayaan Pendidikan Buntut Kenaikan UKT

Nasional
Pimpinan Baru LPSK Janji Tingkatkan Kualitas Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana

Pimpinan Baru LPSK Janji Tingkatkan Kualitas Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana

Nasional
Soroti RUU MK yang Dibahas Diam-diam, PDI-P: Inilah Sisi Gelap Kekuasaan

Soroti RUU MK yang Dibahas Diam-diam, PDI-P: Inilah Sisi Gelap Kekuasaan

Nasional
Jemaah Haji Asal Makassar yang Sempat Gagal Terbang Karena Mesin Pesawat Garuda Terbakar Sudah Tiba di Madinah

Jemaah Haji Asal Makassar yang Sempat Gagal Terbang Karena Mesin Pesawat Garuda Terbakar Sudah Tiba di Madinah

Nasional
DPR dan Pemerintah Didesak Libatkan Masyarakat Bahas RUU Penyiaran

DPR dan Pemerintah Didesak Libatkan Masyarakat Bahas RUU Penyiaran

Nasional
Optimalkan Penanganan Bencana, Mensos Risma Uji Coba Jaringan RAPI

Optimalkan Penanganan Bencana, Mensos Risma Uji Coba Jaringan RAPI

Nasional
Komplit 5 Unit, Pesawat Super Hercules Terakhir Pesanan Indonesia Tiba di Halim

Komplit 5 Unit, Pesawat Super Hercules Terakhir Pesanan Indonesia Tiba di Halim

Nasional
TNI Gelar Simulasi Penerapan Hukum dalam Operasi Militer Selain Perang

TNI Gelar Simulasi Penerapan Hukum dalam Operasi Militer Selain Perang

Nasional
Jokowi Ingin Bansos Beras Lanjut hingga Desember, PDI-P: Cawe-cawe untuk Pilkada

Jokowi Ingin Bansos Beras Lanjut hingga Desember, PDI-P: Cawe-cawe untuk Pilkada

Nasional
Ketua DPP PDI-P Kaget Revisi UU Kementerian Negara Dibahas, Khawatir untuk Bagi-bagi Kekuasan

Ketua DPP PDI-P Kaget Revisi UU Kementerian Negara Dibahas, Khawatir untuk Bagi-bagi Kekuasan

Nasional
Anggota DPR-nya Minta KPU Legalkan Politik Uang, PDI-P: Itu Ungkapan Kejengkelan

Anggota DPR-nya Minta KPU Legalkan Politik Uang, PDI-P: Itu Ungkapan Kejengkelan

Nasional
Meski Urus 'Stunting', BKKBN Belum Dilibatkan dalam Program Makan Siang Gratis Prabowo

Meski Urus "Stunting", BKKBN Belum Dilibatkan dalam Program Makan Siang Gratis Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com