BEKASI, KOMPAS.com —
Sudah tiga bulan Khairiah (45 tahun), warga Kampung Ciketug, Desa Sirnajati, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, mengonsumsi air dari sumur kecil atau kobak di dasar Sungai Cipamingkis.
Perempuan dua anak ini menyadari, meski tidak higienis karena bercampur dengan limbah perusahaan pemecah batu PT Wadah Rezeki Alam (WRA), air kobak tersebut merupakan pilihan terakhir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Minum, masak, mandi, cuci, dan kebutuhan kakus terpaksa dilakukan dengan memanfaatkan air kobak. Khairiah harus mengalokasikan anggaran tambahan dari biaya rutin per harinya untuk mendapatkan air tersebut.
KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO Warga memanfaatkan sisa air di Sungai Cibarusah, Kampung Ciketung, Desa Sirnajati, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat untuk keperluan mandi dan mencuci, Minggu (16/8/2015). Warga mengaku kesulitan mendapatkan air bersih sejak tiga bulan terakhir karena sumur dan sungai mereka mengering akibat kemarau.
"Biasanya, saya hanya menghabiskan Rp 50.000-Rp 75.000 untuk kebutuhan sehari-hari. Kini menjadi Rp 100.000-Rp 150.000 per hari karena harus membeli air kobak," tutur Khairiah seraya menyeduh kopi dengan air kobak yang baru dijerangnya, Minggu (16/8/2015) pagi.
Untuk menghemat air dan uang, dia tak segan mandi, sikat gigi, mencuci, sekaligus buang hajat di Sungai Cipamingkis. Biasanya, Khairiah turun ke sungai yang hanya berjarak 500 meter dari kediamannya pada pagi hari pukul 06.30 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB.
Dia tidak sendiri, ada banyak warga lainnya yang memanfaatkan genangan air Sungai Cipamingkis. Sampah, kotoran manusia, dan limbah tidak mereka hiraukan asalkan bisa mandi, minum, mencuci, dan buang hajat.
KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO Warga memanfaatkan sisa air di Sungai Cibarusah, Kampung Ciketung, Desa Sirnajati, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat untuk keperluan mandi dan mencuci, Minggu (16/8/2015). Warga mengaku kesulitan mendapatkan air bersih sejak tiga bulan terakhir karena sumur dan sungai mereka mengering akibat kemarau.
"Mau bagaimana lagi, kekeringan ini menyusahkan kami. Bantuan dari Pemerintah Kabupaten Bekasi hanya dua kali selama tiga bulan. Mereka bawa dua tangki air. Itu harus dibagi-bagi. Saya cuma dapat dua jeriken," kata Enjay Sunjaya, Ketua RT 01/01 Desa Sirnajati.
Menurut Enjay, ada 187 kepala keluarga dari 156 rumah yang memanfaatkan genangan air Sungai Cipamingkis.
Mata pencaharian baru
Tak selamanya kekeringan panjang ini berbuah kesulitan. Bagi Amin Nemin (50 tahun), musim kemarau ini justru membawa berkah. Dia menjadi kreatif mencari sumber penghidupan baru, yakni sebagai pemanggul air setelah gagal memanen sawah tanaman padi.
Sejak bulan Mei lalu, Amin sudah mulai menggali kobak dan menjual airnya ke para tetangga dengan upah Rp 5.000 per pikul. Amin memanfaatkan bekas tempat cat berbahan plastik ukuran 25 kilogram.
KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO Warga memanfaatkan sisa air di Sungai Cibarusah, Kampung Ciketung, Desa Sirnajati, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat untuk keperluan mandi dan mencuci, Minggu (16/8/2015). Warga mengaku kesulitan mendapatkan air bersih sejak tiga bulan terakhir karena sumur dan sungai mereka mengering akibat kemarau.
Amin terpaksa menjalani profesi sebagai pemanggul air dan juga pemecah batu di PT WRA untuk menyambung hidup. Saat menjadi petani, dia mampu membawa pulang uang sebesar Rp 25.000 per hari waktu pengolahan lahan dan masa tandur selama satu minggu di sawah garapannya seluas 1 hektar.
Sementara itu, pada musim perawatan, Amin mengantongi Rp 25.000 per hari selama satu hingga dua bulan. Ketika masa panen tiba, sebanyak Rp 6 juta bersih masuk kantongnya.
Kini, setelah menjadi kuli panggul, dia hanya mampu mendulang Rp 780.000 per bulan. Penghasilan ini didapat dari 26 kali memanggul air untuk dua kepala keluarga yang menjadi pelanggannya.
KRISTIANTO PURNOMO/Kompas.com Amin harus menempuh jalur terjal dari dasar Sungai Cipamingkis ke rumah-rumah pelanggan air di Kampung Ciketug, Desa Sirnajati, Sabtu (15/8/2015).
"Lumayan, daripada menganggur. Nanti
gak bisa punya duit buat makan," kata Amin.
Kekeringan, kata Enjay, memang tak bisa dihindari. Tiap tahun pasti terjadi. Namun, kali ini kekeringan demikian panjang. Warganya yang sebagian besar bermata pencaharian petani, buruh bangunan, buruh pabrik, dan kuli pemecah batu harus menanggung beban ganda.
"Beban itu adalah kekeringan kritis dan kemiskinan. Tidak ada air, harus mengeluarkan uang untuk beli. Itu kalau punya uang, kalau tidak?" tanya Enjay.
Berikut video perjalanan tim Kompas.com menelusuri jejak kekeringan di Cibarusah, Kabupaten Bekasi.
Kompas Video Sirnajati Tanpa Air Bersih
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.