Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrasi yang Cemas

Kompas.com - 19/08/2015, 15:07 WIB

Oleh: Radhar Panca Dahana

JAKARTA, KOMPAS - Kadang praktik demokrasi di satu negara atau juga di sebuah organisasi terlihat membingungkan, bahkan menggelikan.

Termasuk praktik demokrasi di Indonesia terkait pemilu kepala daerah kita belakangan ini. Semua pihak, hingga otoritas tertinggi di kalangan pemerintah, merasa galau, cemas, dan dibuat repot hanya karena ada calon (pasangan) tunggal di sebuah daerah pemilihan. Demokrasi yang katanya mateng dan tulen itu sekonyong seperti remaja atau akil balik yang merasa cemas akan eksistensi atau kepribadiannya hanya karena tidak berhasil memproduksi lebih dari satu bakal calon pemimpin dalam sebuah pemilu.

Kecemasan itu terjadi, antara lain, disebabkan makna dan "hakikat" demokrasi lenyap atau batal karena tidak terjadi apa yang disebut "pemilihan" (election), salah satu terma atau mantra paling alakazam dalam demokrasi karena tidak ada pilihan dalam "pemilihan", alias rakyat beraklamasi untuk hanya memilih satu calon.

Padahal, apa salahnya dengan aklamasi, yang dalam arti lain adalah mufakat? Bisa jadi mufakat terjadi karena secara tidak langsung semua sepakat bila calan tunggal itu adalah calon pemimpin terbaik dari yang terbaik dari yang ada. Dan semua orang tahu itu, sehingga tak ada gunanya ada calon kedua atau ketiga, jika mereka hanya jadi gula-gula pemanis atau sekadar memenuhi rukun demokrasi.

Manipulasi demokrasi

Lalu mengapa demokrasi, dan para pemeluk teguh yang imannya taqlid, jadi senewen dan cemas? Apakah karena permufakatan—entah dengan proses apa pun—dianggap tradisional karena berbasis adat lalu dianggap tidak demokratis? Apakah ketidaksediaan pesaing potensial untuk mencalonkan diri tidak dianggap sebagai pengakuan sekaligus penerimaan ikhlas terhadap calon tunggal dan malah justru menampakkan satu kedewasaan dan kearifan (parpol) dalam bentuk tersendiri?

Maka, sesungguhnya, tak ada alasan untuk menunda pilkada. Ketiadaan calon jamak dalam sebuah pilkada dapat dianggap sebagai konsensus atau mufakat dari seluruh pemilik kepentingan, bahkan rakyat sebagian besar bahwa calon tunggal memang pantas untuk memerintah di periode depan. Tentu dengan banyak alasan yang publik mengetahuinya sendiri. Ini adalah sebuah kearifan sehingga tak perlu ada defensi agresif yang menyatakan itu penjegalan.

Sebenarnya, jujur atau tidak, kita harus mengakui terma politik paling membahana sepanjang sejarah manusia ini—"demokrasi"—adalah sebuah makna yang tidak tetap, relatif, bahkan labil. Buku teori atau otoritas sehebat apa pun, termasuk negara yang dianggap paling demokratis sekalipun, tidak akan mampu dan berhasil mengerangkeng istilah tersebut dalam sebuah makna yang tetap dan tunggal. Demokrasi bukanlah sebuah makna yang selesai. Ia tetap pantha rei, seperti air yang terus berubah karena tak henti mengalir bersama waktu, sebagaimana orang atau adab bahari memahami dan mengimplementasikannya dalam hidup sehari-hari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kasus WNI Terjerat Judi 'Online' di Kamboja Naik, RI Jajaki Kerja Sama Penanganan

Kasus WNI Terjerat Judi "Online" di Kamboja Naik, RI Jajaki Kerja Sama Penanganan

Nasional
Eks Penyidik KPK: Ponsel Hasto Tidak Akan Disita Jika Tak Ada Informasi soal Harun Masiku

Eks Penyidik KPK: Ponsel Hasto Tidak Akan Disita Jika Tak Ada Informasi soal Harun Masiku

Nasional
Soal Duet Anies-Kaesang, Relawan Anies Serahkan ke Partai Pengusung

Soal Duet Anies-Kaesang, Relawan Anies Serahkan ke Partai Pengusung

Nasional
MPR Khawatir Bansos yang Akan Diberikan ke Korban Judi Online Malah Dipakai Berjudi Lagi

MPR Khawatir Bansos yang Akan Diberikan ke Korban Judi Online Malah Dipakai Berjudi Lagi

Nasional
Eks Penyidik KPK: Kasus Harun Masiku Perkara Kelas Teri, Tapi Efeknya Dahsyat

Eks Penyidik KPK: Kasus Harun Masiku Perkara Kelas Teri, Tapi Efeknya Dahsyat

Nasional
Siapa Anggota DPR yang Diduga Main Judi Online? Ini Kata Pimpinan MKD

Siapa Anggota DPR yang Diduga Main Judi Online? Ini Kata Pimpinan MKD

Nasional
Eks Penyidik KPK Anggap Wajar Pemeriksaan Hasto Dianggap Politis, Ini Alasannya

Eks Penyidik KPK Anggap Wajar Pemeriksaan Hasto Dianggap Politis, Ini Alasannya

Nasional
Rupiah Alami Tekanan Hebat, Said Abdullah Paparkan 7 Poin yang Perkuat Kebijakan Perekonomian

Rupiah Alami Tekanan Hebat, Said Abdullah Paparkan 7 Poin yang Perkuat Kebijakan Perekonomian

Nasional
DPR Sebut Ada Indikasi Kemenag Langgar UU Karena Tambah Kuota Haji ONH Plus

DPR Sebut Ada Indikasi Kemenag Langgar UU Karena Tambah Kuota Haji ONH Plus

Nasional
Punya Kinerja Baik, Pertamina Raih Peringkat 3 Perusahaan Terbesar Fortune 500 Asia Tenggara 2024

Punya Kinerja Baik, Pertamina Raih Peringkat 3 Perusahaan Terbesar Fortune 500 Asia Tenggara 2024

Nasional
Gugat ke MK, Dua Mahasiswa Minta Syarat Usia Calon Kepala Daerah Dihitung saat Penetapan

Gugat ke MK, Dua Mahasiswa Minta Syarat Usia Calon Kepala Daerah Dihitung saat Penetapan

Nasional
Satgas Judi 'Online' Dibentuk, Kompolnas Minta Polri Perkuat Pengawasan Melekat

Satgas Judi "Online" Dibentuk, Kompolnas Minta Polri Perkuat Pengawasan Melekat

Nasional
Pemerintah Diminta Fokuskan Bansos Buat Rakyat Miskin, Bukan Penjudi 'Online'

Pemerintah Diminta Fokuskan Bansos Buat Rakyat Miskin, Bukan Penjudi "Online"

Nasional
Pemerintah Diminta Solid dan Fokus Berantas Judi 'Online'

Pemerintah Diminta Solid dan Fokus Berantas Judi "Online"

Nasional
Ada Anggota DPR Main Judi Online, Pengamat: Bagaimana Mau Mikir Nasib Rakyat?

Ada Anggota DPR Main Judi Online, Pengamat: Bagaimana Mau Mikir Nasib Rakyat?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com