Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yasonna: Tanpa Pasal Pelarangan Penghinaan, Kita Bisa Seenak Perut Hina Presiden

Kompas.com - 10/08/2015, 18:12 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai, perlu ada regulasi yang membatasi segala bentuk penghinaan atau pencemaran nama baik presiden. Jika tidak, maka siapa pun bisa bebas menghina presiden hingga ke urusan pribadinya.

"Nanti bisa kita seenak perut melakukannya dengan tidak beradab. Level keberadan menggunakan kata-kata harus kita jaga," ujar Yasonna di Gedung Kemenkumham, Jakarta, Senin (10/8/2015).

Yasonna mengatakan, tidak masalah jika presiden dikritik kelemahannya selama menjabat sebagai kepala negara. Namun, jika kritik tersebut sudah menjurus ke arah penghinaan, bahkan fitnah, maka perlu ada tindakan tegas. (Baca: Yudhoyono Ingatkan Jokowi via Akun Twitter)

"Misalnya saya, kalau Anda mengatakan Laoly penipu, tukang kawin, punya anak tak sah, hati-hati sama saya, saya kejar sampai ke liang lahat sudah. Ini fitnah yang tidak beralasan," kata Yasonna.

Lagi pula, kata Yasonna, pasal larangan penghinaan terhadap presiden sudah dibuat rancangannya pada pemerintahan yang lalu. Namun, saat itu rancangan undang-undang tersebut belum sempat dibahas. (Baca: Usulan Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Berlawanan dengan Revolusi Mental)

"Jangan ada kesan seolah-olah ini pemerintah mengajukan kembali pasal itu agar hidup," kata politisi PDI Perjuangan itu.

Yasonna menambahkan, rancangan undang-undang itu masih akan dibahas bersama Komisi III DPR RI. Oleh karena itu, ia meminta agar masyarakat dan media tidak menggulirkan isu tersebut dengan liar seolah-olah telah disahkan.

"Kalau tidak setuju, nanti di DPR dibahas dan dalam seminggu akan sidang. Nanti ada raker juga dengan kami dan akan dibahas," kata Yasonna. (Baca: Amir: Masa Presiden Kita Boleh Dihina, tetapi Tak Boleh Hina Kepala Negara Lain?)

Pasal larangan penghinaan terhadap presiden masuk dalam RUU KUHP dan prolegnas DPR 2015. Rancangan UU tersebut akan dibahas pada masa sidang tahun ini dan diharapkan selesai pada pertengahan 2016.

Dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disiapkan pemerintah disebutkan bahwa "Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".

Dalam ayat selanjutnya ditambahkan, "Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri". Menurut Presiden Joko Widodo, pasal itu ada untuk melindungi presiden sebagai simbol negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com