JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD tidak sepakat jika pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan saat ini. Mahfud menilai, waktu pembahasan revisi UU KPK terlalu dekat jaraknya dengan konflik yang terjadi antara KPK dan Polri.
"Kalau saya, lebih baik jangan dilakukan sekarang (revisi UU KPK). Jaraknya dengan peristiwa yang mengguncang KPK itu belum jauh, jadi sifatnya emosional, semuanya sama-sama dalam kondisi emosi," ujar Mahfud saat ditemui seusai memberikan keterangan sebagai ahli di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (30/6/2015).
Selain itu, menurut Mahfud, belum ada sesuatu hal yang mendesak dalam rencana pembahasan revisi UU KPK. Meski demikian, ia menganggap substansi revisi UU KPK sesuai dengan keinginan untuk mencegah hal-hal yang menyimpang dari pimpinan KPK. (baca: Fahri: Jokowi Jadi Penakut, Lebih Baik Pencitraan Tolak Revisi UU KPK)
Mahfud tidak mempersoalkan jika revisi UU KPK telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2015. Menurut dia, jika pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan tidak setuju revisi dilakukan, maka pembahasan tidak dapat dilakukan.
"Meski sudah masuk Prolegnas, saya kira tetap tidak, kan Menkumham sudah membuat surat tidak menyetujui," kata Mahfud. (baca: Pimpinan KPK: Kenapa Revisi UU KPK Terlalu Dipaksakan DPR?)
Revisi UU KPK saat ini sudah masuk program legislasi nasional prioritas 2015. Namun, Presiden dan KPK menolak UU tersebut direvisi.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menegaskan, pemerintah satu suara dengan Presiden untuk menolak revisi UU KPK. Ia mengatakan, percuma DPR ngotot mengajukan revisi jika Presiden menolak hal tersebut. (Baca: Menkumham: Kalau Presiden Menolak, Revisi UU KPK Ya Enggak Jalan)
Yasonna mengingatkan, pembentukan atau revisi UU harus dibahas DPR bersama dengan Presiden. DPR berhak mengajukan revisi UU karena merupakan hak konstitusional. Namun, inisiatif tersebut belum tentu direalisasikan karena masukan dari Presiden juga penentu keputusan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.