Pada perang kemerdekaan RI, Panglima TKR (cikal bakal TNI), yakni Jenderal Sudirman, tampil bersama Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan, Januari 1946, menentang perundingan dengan Belanda jika pemerintah kolonial tidak mengakui kemerdekaan RI terlebih dahulu. "Lebih baik kita diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen," kata Sudirman dalam pidato Persatuan Perjuangan yang membuat heboh.
Sejarah mencatat perang kemerdekaan RI (1945-1949) yang dimotori perjuangan senjata dan diplomasi internasional RI memenangi konflik yang diakhiri dengan Pengakuan Kedaulatan pada Desember 1949.
Sejarawan Belanda dari Nederlands Instituut Voor Militaire Historie, Anselm J van der Peet, dalam berbagai wawancara di Den Haag, Belanda, dan di Jakarta mengatakan, komandan AL Belanda di Hindia Belanda ketika itu, Laksamana Muda Albertus S Pinke, bersikeras memperkuat armada laut dan mengepung RI yang sedang berjuang membebaskan diri dengan menutup lautan.
Komandan tertinggi militer Belanda, Jenderal Simon H Spoor, justru memilih memperkuat kekuatan darat. "Indonesia bisa terus menerobos blokade laut dan Belanda kalah," kata Van der Peet mengingatkan pentingnya maritim dalam perang di Nusantara.
Selanjutnya, wajah kepemimpinan TNI didominasi AD yang sejak 1950-an mendominasi beragam badan usaha yang diambil alih dari Belanda. Menurut sejarawan alumnus Universitas Diponegoro, Semarang, Bonnie Triyana, badan-badan usaha itu dijadikan sarana memperkaya pundi pribadi pejabat AD.
"Pada era Soekarno ada semacam jabatan panglima, tetapi tiang matra militer dan Angkatan Kepolisian memiliki menteri sendiri yang punya kewenangan. Baru pada Orde Baru kekuasaan dipegang TNI AD sesuai hasil Seminar Angkatan Darat 1966 di Bandung yang menegaskan Dwi Fungsi," kata Bonnie.
Kekuasaan TNI AD dimulai ketika Soeharto menjadi Pejabat Presiden RI pada 1967 yang sekaligus merangkap pada 1968-1973 menjadi Panglima ABRI, kini TNI. Lalu, pada 1974-1978, Panglima ABRI dijabat Jenderal M Pangabean. Selanjutnya, Jenderal M Jusuf yang dikenal lurus dan jujur menjadi Panglima TNI pada 1978-1983. Setelah itu Jenderal L Benny Moerdani menjadi Panglima TNI pada 1983-1988.
Memasuki era 1990-an, Jenderal Try Sutrisno menjadi Panglima TNI pada 1988-1993. Jenderal Edi Sudrajat menjadi Panglima TNI dalam waktu singkat, 1993-1993, lalu digantikan Jenderal Feisal Tanjung (1993-1998), ketika rezim Orde Baru juga berakhir dengan pengunduran diri Soeharto dari kekuasaan 32 tahun lebih dengan kondisi ekonomi dan politik yang kacau-balau. Pada masa peralihan, Panglima TNI dijabat Jenderal Wiranto (1998-1999).
Perubahan paradigma
Memasuki era Presiden BJ Habibie, dimulai tradisi baru dengan diangkatnya Laksamana Widodo AS menjadi Panglima TNI pada 1999-2002. Selanjutnya, pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, dan awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Panglima TNI kembali dijabat Jenderal TNI AD, yakni Endriartono Sutarto (18 Juni 2002-13 Februari 2006).
Pemerintahan Yudhoyono kemudian melanjutkan tradisi bergiliran antarmatra TNI dengan mengangkat Marsekal Djoko Suyanto, teman seangkatan sebagai Taruna Akabri 1973, sebagai Panglima TNI tahun 2006-2007. Tradisi masih dipegang Yudhoyono dengan mengangkat Laksamana Agus Suhartono dari TNI AL menjadi Panglima TNI pada 2010-2013.
Selanjutnya, Yudhoyono memberikan giliran TNI AD dengan mengangkat Jenderal Moeldoko sebagai Panglima TNI sejak Agustus 2013.
Kini, Presiden Joko Widodo telah mengajukan calon, yakni Jenderal Gatot Nurmantyo, dan tak meneruskan tradisi menggilir antarmatra dalam memimpin TNI, setidaknya untuk saat ini. Direktur Program Imparsial Al Araf menegaskan, siapa pun Panglima TNI harus memenuhi komitmen Reformasi 1998 yang belum dijalankan, yakni Revisi UU Peradilan Militer sehingga tentara tunduk pada peradilan sipil, transparan, dan bebas korupsi.
Seperti diketahui, lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun belum pernah mengaudit Kementerian Pertahanan (lembaga sipil) yang menjadi sumber pengadaan persenjataan bernilai triliunan rupiah, jauh lebih besar daripada nilai proyek-proyek di lembaga mana pun, termasuk Kepolisian RI. Menurut Al Araf, dibutuhkan Panglima TNI yang bisa mentransformasi TNI sebagai lembaga yang patuh hukum serta bebas dari pelanggaran HAM dan korupsi.(Iwan Santosa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.