JAKARTA, KOMPAS - Salah satu putusan Mahkamah Partai Golkar pada 3 Maret 2015 yang hingga saat ini tidak pernah diperdebatkan adalah kewajiban untuk menyelenggarakan Musyawarah Nasional Partai Golkar selambat-lambatnya 16 Oktober 2016. Putusan itu diambil terkait perselisihan kepengurusan di internal Golkar, yaitu antara kepengurusan versi Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.
Musyawarah nasional (munas) gabungan itu sejatinya adalah hal terbaik yang direkomendasikan oleh empat hakim anggota Mahkamah Partai Golkar (MPG), yaitu Muladi, Natabaya, Andi Mattalatta, dan Djasri Marin. Munas gabungan merupakan koridor untuk kembali mewujudkan islah. Sulit untuk islah dengan sekadar menandatangani perjanjian karena proses itu tak adil pula bagi kader Golkar lain karena seolah hanya "membagi" Golkar untuk faksi Aburizal dan Agung.
Terhadap koridor islah, menurut Muladi, awalnya empat hakim MPG sepakat menyodorkan hal itu bagi penyelesaian perselisihan kepengurusan. Akan tetapi, Andi Mattalatta dan Djasri Marin berubah sikap menjadi mengakui kepengurusan Golkar hasil Munas Jakarta yang dipimpin Agung. Namun, DPP Golkar hasil Munas Jakarta harus mengakomodasi kepengurusan hasil Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie. Langkah Andi Mattalata dan Djasri Marin ini dipicu oleh langkah kubu Aburizal yang mengajukan kasasi.
Jauh sebelum munas digelar, kubu Agung dan Aburizal masih berupaya menyelesaikan masalah mereka ke pengadilan, persisnya di pengadilan tata usaha negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Tentu saja penyelesaian perselisihan melalui jalur pengadilan itu tidak lagi sejalan dengan penyelesaian melalui jalur MPG. Namun, ketika Majelis Hakim PN Jakarta Utara sependapat dengan PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Barat untuk tidak terlibat lebih dalam dengan perselisihan internal di Partai Golkar, Munas 2016 tetap relevan untuk dibicarakan.