Hal tersebut terkait dengan dibebaskannya Briptu Agung Krisdianto yang sebelumnya terjaring dalam operasi tangkap tangan bersama anggota DPR Adriansyah di Bali.
"Kalau kapok, kenapa AK (Agung Krisdianto) itu ditangkap waktu penggerebekan, dan diumumkan ke publik," kata Johan Budi pada pelatihan jurnalistik investigasi yang digelar KPK, di Pekanbaru, Kamis (16/4/2015).
Johan menjelaskan, AK dibebaskan karena, selama pemeriksaan selama 1 x 24 jam, penyidik belum memiliki minimal dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan status terhadap terperiksa. "Lalu apa dia bebas, ya belum tentu. Selama penyidikan, dia bisa dipanggil lagi, dan kalau ada bukti bisa ditetapkan sebagai tersangka," katanya.
Johan memahami bahwa berkembangnya persepsi publik terkait pelepasan personel polisi itu kemudian dikaitkan dengan keraguan terhadap keberanian KPK, sehubungan dengan efek dari kekisruhan kasus dugaan korupsi Komjen Pol Budi Gunawan (BG).
"Kalau tidak ada kasus BG, pasti tak akan ada berita seperti itu. Meski demikian, saya tidak bisa salahkan persepsi publik. Persepsi silakan saja karena kami tidak bisa mengekang kebebasan berpendapat," ujarnya.
Ia mengatakan secara diplomatis, posisi KPK diakuinya memang lebih menahan diri demi kelangsungan lembaga itu. "Ini bukan soal takut dan berani. Kalau didefinisikan KPK (harus) berani, lalu KPK hancur, saya pilih takut. Akan tetapi, dalam konteks apakah KPK tetap berani dalam memerangi korupsi, maka saya berada paling depan," katanya.
"Pemberantasan korupsi bukan lari sprint, tetapi jangka panjang. Hongkong saja butuh 30 tahun dalam pemberantasan korupsi," lanjut Johan Budi.
Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan di sela pelaksanaan Kongres PDI-P di Bali beberapa waktu lalu. Dari operasi itu, KPK mengamankan Adriansyah, politisi PDI-P yang duduk di Komisi IV DPR RI. Ia disangkakan telah menerima suap dari pengusaha batu bara Andrew Hidayat melalui Brigadir Polisi Agung Krisdianto.
Uang suap itu terdiri dari 40 lembar pecahan 1.000 dollar Singapura, 485 lembar Rp 100.000, dan 147 lembar Rp 50.000. Uang tersebut ditempatkan di amplop cokelat dan di tas kertas kecil. Total uang suap yang diamankan sekitar Rp 500 juta.
Uang itu diberikan dalam kaitan dengan pengusahaan kegiatan pertambangan PT Mitra Maju Sukses (MMS) milik Andrew di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Suap itu diduga diberikan secara rutin sejak Adriansyah menjabat Bupati Tanah Laut. Namun, setelah penangkapan itu, KPK membebaskan anggota polisi yang menjadi perantara.
Hal itu langsung mendapat kritikan dari berbagai elemen masyarakat, seperti dari Indonesia Police Watch (IPW) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahkan, anggota ICW, Emerson Yuntho, sempat menyebutkan bahwa persepsi negatif muncul akibat tindakan KPK dengan memelesetan singkatan lembaga itu menjadi "Kapok Periksa Kepolisian" atau "Komisi Pelindung Kepolisian".
Baca juga: Aktivis ICW: Ada Kesan KPK Berganti Nama Jadi "Kapok Periksa Kepolisian"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.