JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis menilai, peraturan pemerintah pengganti Undang-undang yang diterbitkan Presiden Joko Widodo terkait pimpinan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memenuhi syarat kegentingan memaksa. Menurut Margarito, DPR harus menerima perppu tersebut.
"Saya berpendapat cukup alasan secara konstitusional untuk (DPR) menerima perppu ini ditingkatkan menjadi Undang-undang," kata Margarito, dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi III DPR, di Gedung Parlemen, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/4/2015).
Margarito menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang KPK tidak disediakan kerangka kerja untuk Presiden ketika terjadinya situasi genting yang mengganggu fungsi KPK dalam memerangi kejahatan korupsi.
Sementara fungsi KPK, kata dia, terganggu ketika Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian. (baca: Abraham: Saya Bukan Malaikat, tapi Tidak Sebejat yang Dituduhkan)
"Betul masih tersisa dua pimpinan KPK, Adnan dan Zulkarnaen. Tapi kita tidak bisa kesampingkan kenyataan dua pimpinan KPK yang tersisa itupun sudah dilaporkan ke Bareskrim," ucap Margarito.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin meminta tanggapan Margarito mengenai dugaan terjadinya kriminalisasi pada pimpinan KPK. Aziz khawatir DPR ikut menjadi bagian dalam usaha mengkriminalisasi KPK ketika menyetujui perppu yang terbit setelah dua pimpinan KPK dijerat kasus.
"Apakah ada indikasi skenario besar penetapan tersangka Abraham dan Bambang? Kalau ada, berarti penerbitan perppu juga bagian dari skenario itu," ujar Aziz. (baca: Ini Alasan Polri Tak Hentikan Penyidikan Kasus Abraham dan Bambang)
Menjawab itu, Margarito menyatakan bahwa dirinya tidak melihat ada kriminalisasi terhadap Abraham dan Bambang. Menurut dia, kriminalisasi terjadi ketika tuduhan hukum tidak memiliki bukti sehingga tidak dapat diproses lebih lanjut.
"Saya percaya, dekriminalisasi pada dua pimpinan KPK itu hanya bisa dilakukan bila tidak cukup bukti dalam pemeriksaan sehingga statusnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)," kata Margarito.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.