"Ini pemanggilan pertama sebagai tersangka," ujar Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Charliyan melalui pesan singkat, Jumat pagi.
Denny diduga memiliki peran sentral dalam kasus tersebut. Anton mengatakan, berdasarkan pemeriksaan sejumlah saksi, Denny berperan penting untuk menginstruksikan penunjukan dua vendor 'payment gateway' sekaligus memfasilitasinya untuk mengoperasikan sistem tersebut. Dua vendor yang dimaksud, yakni PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia.
"Satu rekening dibuka atas nama dua vendor itu. Uang disetorkan ke sana, baru disetorkan ke bendahara negara. Nah, ini yang menyalahi aturan, harusnya langsung ke bendahara negara," ujar Anton, di Mabes Polri Jakarta, Rabu (25/3/2015).
Namun, saat ditanya lebih lanjut soal apakah kedua vendor tersebut terhubung dengan Denny secara pribadi, Anton enggan menjawabnya. Dia mengatakan, penyidiklah yang lebih berwenang menjawab hal tersebut.
Penyidik, lanjut Anton, masih menunggu hasil audit kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, penyidik sudah memperkirakan dugaan kerugian negara atas kasus itu mencapai Rp 32.093.692.000. Selain itu, penyidik juga menduga adanya pungutan tidak sah sebesar Rp 605 juta dari sistem itu.
Anton mengatakan, manuver Denny dalam sistem itu sebenarnya kurang disetujui oleh orang-orang di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Namun, Denny tetap ngotot program tersebut harus berjalan.
"Sebelumnya, ada proyek yang dilaksanakan, namanya Simponi. Ini program pembuatan paspor secara elektronik juga, malahan tidak dipungut biaya. Tapi Denny tetap mau sistem payment gateway yang berjalan," lanjut Anton.
Denny pun dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 421 KUHP Juncto Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama.