Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat KPK Mendadak Sibuk di Akhir Pekan

Kompas.com - 14/01/2015, 21:36 WIB

Oleh Khaerudin dan Agnes Theodora

KOMPAS.com -  JUMAT (9/1/2015) malam lalu, kalangan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi terkejut dengan keputusan Presiden Joko Widodo, yang mengusulkan nama Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri kepada DPR. Keesokan harinya, Sabtu, tak seperti biasanya, pemimpin KPK bersedia menerima sejumlah elemen masyarakat sipil, yang merasa keberatan dengan keputusan Presiden memilih Budi sebagai calon Kepala Polri.

Jika KPK menerima elemen masyarakat sipil pada hari libur, itu berarti ada yang tak biasa. Saat itu, kepada media, pemimpin KPK memberikan sedikit ”peringatan” kepada Presiden.

Memang tak secara langsung peringatan itu diberikan. KPK hanya memberikan sinyalemen bahwa proses pemilihan Budi sebagai calon tunggal Kepala Polri, yang tak melibatkan institusi anti rasuah itu, bukan tradisi baik.

”Presiden, sesuai undang-undang, berwenang menentukan siapa yang akan dijadikan Kepala Polri mendatang. KPK hanya bisa memohon agar pergantian itu dilakukan sesuai tradisi terbaik yang pernah dilakukan dan meminta agar calon Kapolri mendatang punya integritas, akuntabilitas, dan bisa bekerja sama dengan KPK,” ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, Sabtu sore.

Tradisi baik yang dimaksud Bambang adalah seperti ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pertimbangan KPK saat memilih calon Kepala Polri. Tradisi baik itu pula yang, menurut Bambang, dilakukan Presiden Jokowi ketika meminta KPK menelusuri rekam jejak calon anggota kabinetnya, sebelum mereka dipilih menjadi menteri.

Ibarat nasihat, KPK sebenarnya sudah memberikan sinyal terang benderang kepada Presiden Jokowi agar memilih Kepala Polri yang berintegritas.

”Sinyal itu sudah sangat tegas, bahwa orang-orang tertentu termasuk Budi tidak masuk bagian karena sedang dalam proses (diselidiki kasus korupsinya). Sangat jelas itu, kami sampaikan dengan lugas,” kata Bambang.

KPK intinya tak ingin Presiden salah pilih dalam menentukan pemimpin Polri. Itu pula yang coba dijelaskan kepada Presiden dengan memberi tanda merah saat Presiden menyodorkan nama Budi sebagai salah satu calon menteri.

Tanda merah sebenarnya semacam kode agar Presiden tak memakai jasa yang bersangkutan sebagai anggota kabinetnya.

Tanda itu disematkan KPK kepada sejumlah nama dalam daftar calon menteri Kabinet Kerja, salah satunya karena yang bersangkutan diduga terlibat dalam kasus korupsi yang tengah diselidiki. Ketua KPK Abraham Samad, ketika itu, bahkan secara tegas menyatakan, nama-nama yang diberi warna merah dari calon menteri Kabinet Kerja tinggal satu dua langkah lagi untuk dijadikan tersangka.

Budi, sebagaimana akhirnya diungkapkan Abraham saat menetapkannya sebagai tersangka, Selasa (13/1/2015), memang diberi warna merah ketika disodorkan Presiden sebagai salah satu calon menteri.

Tanpa Fraksi Demokrat

Selasa (13/1/2015), di tengah kabar penetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK, Komisi III DPR yang berencana menggelar uji kelayakan dan kepatutan tetap berkunjung ke rumah Budi di Jalan Duren Tiga Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Seperti jadwal sebelumnya, sesudah rapat pleno, 52 anggota Komisi III mendatangi rumah Budi.

Kunjungan itu untuk melihat sisi lain kehidupan calon tunggal Kepala Polri itu. Dari total 10 fraksi, hanya Fraksi Demokrat yang menolak ikut hadir berkunjung. Sebab, Demokrat sejak awal telah menegaskan ketidaksetujuannya terhadap kelanjutan pencalonan Budi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com