KUMAI, KOMPAS.com - Misi pencarian puing dan korban jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 oleh kapal SAR KN101 Purworejo, Jumat (2/1/2015), masih terus berhadapan dengan cuaca buruk di perairan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Saya--fotografer Kompas.com, Roderick Adrian Mozes--dan beberapa rekan jurnalis lain merasakan seperti apa rasanya dihantam ombak berketinggian 4 meter sampai 5 meter, saat meliput dengan turut menumpang kapal ini.
Pada Jumat pagi, cuaca memang cerah. (Baca: Demi Tak Tertinggal Kapal Pencari AirAsia QZ8501). Bahkan, saat kami meninggalkan pelabuhan menuju laut lepas, tak terlihat satu pun awan mendung apalagi turun hujan.
Jumat pagi, angin saja yang terasa bertiup kencang. Satu jam setelah kapal angkat sauh, tim penyelam dari Basarnas pun mulai menyiapkan segala perlengkapan selam, radio komunikasi bawah air, hingga peralatan untuk melihat di kedalaman laut.
Para penyelam ini mencari puing pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh pada Minggu (28/12/2014). Saya merekam semua aktivitas mereka itu, sejak mengisi tabung oksigen hingga mengecek perlengkapan selam.
Salah satu anggota tim penyelamat sempat mengingatkan kami untuk memasang pelampung terlebih dahulu sebelum meliput. "Kita enggak tahu kondisi cuaca, mas. Kadang berubah drastis. Buat jaga-jaga saja," kata dia.
Setelah memakai pelampung, saya kembali memotret. Pelahan saya rasakan laju kapal bertambah cepat, goyangan juga lebih terasa, tetapi saya masih memotret. Saya baru berhenti ketika badan sudah tak bisa berdiri stabil tanpa berpegangan.
"Pintar" yang tak bertahan lama
Namun, saat saya berhenti itu, adalah ketika mabuk laut sudah memutar "dunia" saya. Waktu itu, menyesal tak sempat sarapan adalah pikiran pertama yang melintas. Namun, bagaimana mau sarapan kalau harus bangun pada dini hari untuk mengejar kapal ini dan tak ada warung buka?
Begitu mabuk ini terasa, ingin mengikuti jejak teman-teman yang lebih dulu menyantap mi instan, saya sadari sudah terlambat. Perut terlanjur bergejolak. Maka, pikiran saya bekerja cepat, "Cari tempat duduk dan tidur!"
Dengan ide yang muncul di dalam kepala itu, saya pun meletakkan kamera, meminum obat herbal yang kata jargonnya adalah pilihan orang pintar, dan kemudian memejamkan mata. Gelombang sudah semakin kuat terasa menggoyang KN101.
"Kepintaran" saya hanya bertahan setengah jam, untuk 30 menit sejak keputusan memejamkan mata itu saya spontan bangkit, setengah berlari ke kamar mandi, dan muntah. Semua makanan dan minuman pada Kamis (1/1/2015) malam, tumpah sudah.
Jangan tanya rasa yang menyengat lidah seketika. Saya segera kembali ke tempat duduk dan mencoba tidur lagi. Kali ini saya bisa tertidur agak lama ketika harus terbangun lagi karena kerasnya goyangan kapal yang terdorong ombak.
Tak lama kemudian saya kembali berlari dan kali ini tidak sampai mencapai kamar mandi. Saya keluar ke selasar samping kanan kapal, menjulurkan kepala saya melewati pagar pembatas, berhadapan dengan laut yang bergelora, untuk muntah lagi.
Satu petugas datang mendekat dan memegang pundak saya. "Mas, ke kamar mandi saja. Lebih enak dan aman," ujar dia. Saat itu saya baru sadar, pelampung sudah tak lagi melekat di badan. Namun, sadar kali ini tak lama, karena saya langsung berlari ke kamar mandi, muntah lagi.