KOMPAS.com - Tahun 2014 menjadi titik balik pemanfaatan internet, dari yang semula lebih banyak dipakai untuk hiburan dan bisnis hingga menjadi salah satu alat perjuangan politik. Teknologi informasi telah menemukan jati dirinya sebagai kawan seiring dalam mewujudkan transparansi dan menjaga demokrasi.
Sebagian toa atau pelantang suara para pengunjuk rasa, pada tahun 2014, telah diganti dengan teks dan visual yang dikampanyekan di media sosial. Awalnya, banyak orang menyangsikan media sosial mampu mendorong perubahan sosial Indonesia. Namun, prediksi tersebut ternyata meleset.
Deputi Direktur Public Virtue Institute (PVI) John Muhammad mencatat, sepanjang tahun 2014, setidaknya ada 34 platform atau situs web yang digunakan untuk kepentingan demokrasi dan sekitar 30 aplikasi terkait pemilu. "Total ada 64 website," katanya.
Munculnya situs web pengawal suara pemilu, seperti situs kawalpemilu.org, berikut dampak yang ditimbulkannya menjadi salah satu fenomena menarik terkait dengan teknologi informasi (TI) pada 2014.
Kampanye di media sosial juga menjadi fenomena tersendiri. Sepanjang tahun ini, banyak tagar politik jadi topik pembicaraan di Twitter, di antaranya #ShameOnYouSBY, #Jokowi9Juli, #AkhirnyaMilihJokowi, #GagalGolput, dan tema-tema terkait dengan debat calon presiden.
Dari segi pendayagunaan media sosial, fenomena itu menakjubkan. "Dari sisi infrastruktur internet, Indonesia berada di urutan bawah dibandingkan negara lain. Namun, produktivitas kita luar biasa, bahkan paling berisik di dunia," kata John.
Semangat itu, jika tidak dijaga, akan berbuah negatif. Alasannya, dengan teknik yang sama, sangat mungkin ada orang yang merekayasa media sosial untuk kepentingan pribadi, misalnya untuk mempromosikan orang.
"Netizen akan berhadapan dengan derasnya arus informasi, tetapi kebenaran dan faktanya harus diteliti ulang. Pesan untuk tahun 2015, kecerdasan digital makin dibutuhkan. Memilih fakta dan informasi itu wajib. Netizen harus punya keterampilan kritis," kata John.
Netizen yang tidak kritis bisa ditelan informasi, bahkan diproses hukum karena kesalahan sepele. Pada 2014, banyak kasus kriminalisasi percakapan di media sosial dengan mengatasnamakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
TI untuk transparansi
Pemilu Presiden 2014 telah menjadikan Indonesia negara demokrasi nomor satu di dunia dalam hal jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dalam satu waktu yang serentak, yakni mencapai 134 juta orang.
Pengalaman demokrasi ini mendorong muncul fenomena baru. Para programmer bahu-membahu membangun berbagai aplikasi, mulai dari sekadar untuk berbagi informasi seputar pemilu hingga untuk mengawal kemurnian suara rakyat yang disampaikan di bilik suara.
Semangat dan gairah para programmer itu ikut dipicu oleh kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menganut sistem open data atau data terbuka. KPU, misalnya, membuka data perolehan suara dari setiap TPS secara daring.
Komisioner KPU, Juri Ardiantoro, mengatakan, keterbukaan data itu dilakukan karena salah satu agenda besar penyelenggara pemilu adalah bagaimana mendorong partisipasi dan keterbukaan. "Ketika KPU menutup informasi, masyarakat akan curiga dan tak bisa mengawal pemilu," kata Juri.
Buah dari keterbukaan KPU itu antara lain memunculkan situs kawalpemilu.org yang dibangun Ainun Nadjib dan kawan- kawan. Aplikasi ini memanfaatkan formulir rekapitulasi tingkat TPS atau C1 yang diunggah di situs web pilpres2014.kpu.go.id.