Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revolusi Zaman Kini

Kompas.com - 12/09/2014, 16:01 WIB


Oleh: Radhar Panca Dahana

KOMPAS.com - Ilustrasi semacam ini telah menjadi pengetahuan umum di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia: hampir lenyapnya kesantunan atau adab berlalu lintas di jalan raya. Pelanggaran-pelanggaran yang ekstrem terjadi di depan kita setiap hari, bahkan di depan mata petugas yang sebenarnya berkewajiban etis dan konstitusional mengatasi semua itu.

Kemacetan parah, ratusan kendaraan melawan arus, melanggar marka seenaknya, mengendarai motor dengan lebih dari dua penumpang, atau pengangkut umum yang menjadi algojo jalanan, misalnya, terjadi bahkan persis di depan kantor polisi yang dengan mentereng tetap memajang slogan "Siap Melayani Anda".

Ketidaksantunan berlalu lintas macam di atas hanyalah representasi kecil dari dilanggarnya keadaban hidup kita—baik berbasis hukum formal, adat/tradisi, atau agama—dalam hidup (hiper-)pragmatis kita sehari-hari. Sejumlah cara berpikir dan berperilaku baru kita adopsi begitu saja, tanpa pengendapan secukupnya, lalu menjadi nilai yang semula bersifat personal kemudian berkembang menjadi norma yang bersifat komunal, bahkan nasional. Di tingkat ini, tidak peduli ia negatif atau destruktif, konsensus normatif sesungguhnya juga sudah menjadi sebuah produk kebudayaan.

Maka, kita pun melihat, menjadi saksi hidup, bahkan mungkin ikut mempraktikkan situasi kaotis pada level dasar kebudayaan itu, pada kehidupan pribadi kita di keluarga/rumah tangga, di pergaulan lingkungan, di tempat kerja, dalam birokrasi, bahkan instansi-instansi negara yang sesuai dengan obligasinya harus menjadi pembela atau penegak nilai-nilai luhur, mulia, positif, dan konstruktif.

Seorang menteri di kabinet Susilo Bambang Yudhoyono saat ini mencemaskan pemerintahan mendatang mengalami kegagalan fundamental ketika harus berhadapan dengan aparatus (birokrasi) yang nilai personal dan komunalnya, bahkan norma-norma umumnya, tidak hanya negatif dan destruktif, tetapi juga menggerakkan involusi yang laten. Sinyalemen, bahkan telah dibuktikan oleh banyak peneliti, bagaimana anggaran belanja negara digerogoti lebih dari 50 persen oleh pangreh praja alias aparatus birokrasi dengan nilai dan norma baru yang tak lain pelanggaran dan pengkhianatan pada etos dan etika kepegawaian.

Bahkan, seorang ahli administrasi negara yang disetujui rekan ahli hukum tata negara menyatakan dibutuhkan lebih dari dua generasi mereparasi mentalitas dan rasionalitas destruktif dari birokrasi, mulai dari pegawai pemerintah daerah, pusat, hingga lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan, kehakiman, hingga kepolisian. Itu pun jika niat, usaha, dan stamina beberapa pemerintahan yang menjalankan perbengkelan manusia itu terjaga kekuatan dan keberlanjutannya.

Artinya, apakah situasi kaotis secara mental-rasional bahkan spiritual itu mendapatkan jalan buntu, atau melingkar tak henti seperti tong setan atawa siklus nasib manusia Sisyphus dalam absurditas Albert Camus? Tak mengherankan jika kebanyakan masyarakat (kecil dan menengah, terutama) mengilusikan munculnya pemimpin baru yang Satrio Piningit, dalam arti ia tak muncul dari ”lingkaran setan” kaum elite yang berposisi sebagai patron bagi para kliennya. Mengimajinasikan sebuah revolusi ketika perubahan radikal dapat terjadi tanpa kita menunggu buyut kita lahir atau kita kehilangan rezeki menjadi saksi atau mendapat berkahnya.

Betapa hidup kita sebagai manusia bahkan berbangsa sesungguhnya, hingga hari ini, paling tidak separuhnya, masih juga ditentukan spekulasi yang irasional, supranatural, bahkan mistis dan magis.

Revolusi ikutan

Secara jernih, kita semestinya memafhumi yang kita bayangkan dari ”revolusi” sebenarnya satu hak yang ilusif atau mustahil (lagi) terjadi. Apabila yang diimajinasikan dari lema atau term itu sebuah perubahan radikal—menuju keadaan yang lebih baik, tentu saja—di semua level sosial, kultural, hingga spiritual, secara legawa kita sebaiknya menerima hal itu sudah menjadi sejarah, menjadi monumen, sekurangnya seabad yang lalu. Bukan hanya di negeri ini, melainkan juga dunia.

Apabila dipaksakan signifikansinya, revolusi mungkin pernah terjadi pada masa setengah abad yang lalu, ketika puluhan negara baru lahir sebagai rentetan perang (merebut) kemerdekaan dari kolonialisme oksidental (Eropa). Signifikansi revolusi macam ini dipaksakan lantaran yang terjadi sebenarnya bukanlah perubahan radikal di semua level dan dimensi kehidupan di atas, tetapi semata pemindahan kekuasaan (formal) dari pemerintah kolonial ke pemerintah lokal.

Apakah secara mental, intelektual, spiritual, bahkan fisikal semua rakyat dan bangsa itu sudah merdeka? Bahkan secara sistemis dan struktural mereka telah mampu berdaulat di tanah airnya sendiri? Bermacam buku, karya seni, hingga demonstrasi belakangan ini menggambarkan betapa sebenarnya revolusi kemerdekaan itu bukanlah revolusi hidup dan kemanusiaan yang sesungguhnya kita, masyarakat dunia, bayangkan.

Dalam 50 tahun belakangan, ”revolusi” boleh jadi masih terjadi, tetapi hanya dalam satu dimensi (produk) kebudayaan saja: sains. Terutama ketika produk intelektual itu disertai implementasi teknologisnya berupa mesin komputasi, transportasi, dan informasi-komunikasi. Harus diakui, revolusi dalam dimensi ini telah menyeret perubahan radikal (bahkan revolusioner) di bagian hidup lainnya. Yang kita rasakan, alami, dan produksi belakangan ini dalam semua lapangan kehidupan, ikhlas atau tidak, sesungguhnya hanya menjadi impak dan dampak dari capaian sains dan teknologis di atas.

Persoalannya: revolusi ikutan di atas ternyata menciptakan pergeseran, bahkan perubahan yang sangat signifikan dari sikap mental, intelektual, bahkan fisikal kita. Tak lain, kita bergerak—secara sadar dan tak—hanya menjadi konsumer, tepatnya korban, dari produk-produk teknologis dan segala jenis industri (kapitalistis) yang membonceng di belakangnya. Di titik ini kita kehilangan kepribadian kita, identitas, hingga tingkat nilai-nilai dasar (juga primordial) yang selama ini mengonstitusi keberadaan atau eksistensi kita. Kita pun menjadi makmum atau pengikut sukarela dari diseminasi cara hidup dan berpikir atau rezim budaya yang menjadi struktur dan sistem dasar di dalam sains serta teknologi (notabene) oksidental itu.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Idul Adha 2024, Ma'ruf Amin Ajak Umat Islam Tingkatkan Kepedulian Sosial dan Saling Bantu

Idul Adha 2024, Ma'ruf Amin Ajak Umat Islam Tingkatkan Kepedulian Sosial dan Saling Bantu

Nasional
Jokowi, Megawati, hingga Prabowo Sumbang Hewan Kurban ke Masjid Istiqlal

Jokowi, Megawati, hingga Prabowo Sumbang Hewan Kurban ke Masjid Istiqlal

Nasional
KIM Disebut Setuju Usung Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta, Golkar: Lihat Perkembangan Elektabilitasnya

KIM Disebut Setuju Usung Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta, Golkar: Lihat Perkembangan Elektabilitasnya

Nasional
Isu Perombakan Kabinet Jokowi, Sandiaga: Saya Siap Di-'reshuffle' Kapan Pun

Isu Perombakan Kabinet Jokowi, Sandiaga: Saya Siap Di-"reshuffle" Kapan Pun

Nasional
Hadiri Lion Dance Exhibition, Zita Anjani Senang Barongsai Bertahan dan Lestari di Ibu Kota

Hadiri Lion Dance Exhibition, Zita Anjani Senang Barongsai Bertahan dan Lestari di Ibu Kota

Nasional
Timwas Haji DPR Ajak Masyarakat Doakan Keselamatan Jemaah Haji dan Perdamaian Palestina

Timwas Haji DPR Ajak Masyarakat Doakan Keselamatan Jemaah Haji dan Perdamaian Palestina

Nasional
5 Perbaikan Layanan Haji 2024 untuk Jemaah Indonesia: 'Fast Track' hingga Fasilitas buat Lansia

5 Perbaikan Layanan Haji 2024 untuk Jemaah Indonesia: "Fast Track" hingga Fasilitas buat Lansia

Nasional
Timwas Haji DPR Ingatkan Panitia di Arab Saudi untuk Selalu Awasi Pergerakan Jemaah

Timwas Haji DPR Ingatkan Panitia di Arab Saudi untuk Selalu Awasi Pergerakan Jemaah

Nasional
Safenet Nilai Pemblokiran X/Twitter Bukan Solusi Hentikan Konten Pornografi

Safenet Nilai Pemblokiran X/Twitter Bukan Solusi Hentikan Konten Pornografi

Nasional
Pastikan Keamanan Pasokan Energi, Komut dan Dirut Pertamina Turun Langsung Cek Kesiapan di Lapangan

Pastikan Keamanan Pasokan Energi, Komut dan Dirut Pertamina Turun Langsung Cek Kesiapan di Lapangan

Nasional
Bersikeras Usung Ridwan Kamil di Jawa Barat, Golkar: Di Jakarta Surveinya Justru Nomor 3

Bersikeras Usung Ridwan Kamil di Jawa Barat, Golkar: Di Jakarta Surveinya Justru Nomor 3

Nasional
Soal Tawaran Masuk Kabinet Prabowo-Gibran, Sandiaga: Lebih Berhak Pihak yang Berkeringat

Soal Tawaran Masuk Kabinet Prabowo-Gibran, Sandiaga: Lebih Berhak Pihak yang Berkeringat

Nasional
PPP Tak Lolos Parlemen, Sandiaga: Saya Sudah Dievaluasi

PPP Tak Lolos Parlemen, Sandiaga: Saya Sudah Dievaluasi

Nasional
Respons Menko PMK, Komisi VIII DPR: Memberi Bansos Tidak Hentikan Kebiasaan Berjudi

Respons Menko PMK, Komisi VIII DPR: Memberi Bansos Tidak Hentikan Kebiasaan Berjudi

Nasional
Eks Penyidik Sebut KPK Tak Mungkin Asal-asalan Sita HP Hasto PDI-P

Eks Penyidik Sebut KPK Tak Mungkin Asal-asalan Sita HP Hasto PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com