Di sinilah titik penjelas tercipta chaos budaya yang tergambar di awal tulisan ini. Jika muncul urgensi atau gagasan untuk dimulai upaya melakukan "revolusi (dalam arti perubahan berangsur yang tetap dan progresif) mental", kita pun mendapat argumentasi logis—bukan spekulatif—nya di sini. Namun, mungkinkah terjadi "revolusi mental" yang logis itu?
"Revolusi" budaya
Frasa akhir paragraf di atas sebenarnya sudah mengindikasikan ”revolusi mental” itu tak mungkin terjadi atau terjalani tan- pa diiringi revolusi intelektual (yang logis). Harus ditambahkan lagi dalam logika ini, revolusi semacam itu juga mau tak mau harus mengintegrasikan dua revolusi lain: fisikal dan spiritual. Tiga dimensi ma- nusia-ilahiah ini sebenarnya sejak mula tak terpisahkan, tetapi kebudayaan manusia yang dipengaruhi realitas geografis telah menceraiberaikannya: rasio, mental-spiritual, dan fisikal.
Tiga dimensi itulah yang sesungguhnya bekerja, tidak simultan, tetapi integratif sehingga manusia memiliki semacam daya cipta, kapasitas ilahiah yang kita sebut kreativitas. Kapasitas melahirkan kebudayaan dan produk-produknya. Artinya, sebuah perubahan yang kontinu, progresif, dan positif dalam harapan kita bersama di atas, tidak bisa tidak harus terjadi pada level atau fondasi kebudayaan.
Revolusi—baiklah kita gunakan lema ini betapapun biasnya—kebudayaan tidak hanya mengubah mentalitas kita, tetapi juga pola pikir kita sampai pada sikap keber- agamaan kita, hingga secara fisis ia maujud dalam perilaku pragmatis kita sehari-hari. Semua itu bukan cuma soal politik, ekonomi, ilmu, atau agama saja, tetapi itu soal kebudayaan. Dan, kebudayaan di sini secara sederhana kita pahami sebagai sebuah nebula atau gugusan abstrak (ke)manusia(an) yang ingin mempertahankan eksistensi spesiesnya lewat produk-produk idealnya dalam lima tingkat: nilai, norma, moralitas, etika, dan estetika.
Inilah gugusan abstrak yang dengan keringat tubuh kita jadi produk atau artifak ketika bukan keberlangsungan spesies saja yang terjaga, kenyamanan hidup kita juga tercipta. Sebuah revolusi selaiknya terjadi dalam prosesus kultural di atas, bermula dari nilai-nilai—di tingkat personal—yang luhur dan mulia, kita terima dan internalisasi dalam diri hingga kemudian jadi masif dan mencipta sebuah norma yang juga luhur dan mulia. Dari norma yang positif, sebagai arsenal ampuh melawan negativitas kultural di sisi lainnya, moralitas (umum) dalam arti kebaikan dan/yang juga kebenaran sekaligus dapat dihasilkan secara kolektif.
Di tingkat aturan dasar, tingkat analitik, semua itu akan jadi kitab etika yang jadi penuntun keadaban dan kesantuan, serta estetika, yang jadi acuan dalam mengapresiasi semua produk kebudayaan kita. Bagi pengemban amanah rakyat dan konstitusi Indonesia mendatang, praksis dan internalisasi prosesus ini tak terelakkan harus terejawantahkan dalam sistem pengajaran (universal) yang mengikutkan seluruh elemen kebangsaan kita, ketika pendidikan formal salah satu garda depannya.
Dalam sistem ini, bukan hanya pengajar di sekolah-sekolah formal, ustaz di masjid, orangtua di rumah, sesepuh adat, pelatih atau penatar yang mendapat imperasi keras untuk bukan hanya menjadi acuan moral, melainkan juga contoh perbuatan, juga mereka yang menjadi bos, komandan tempur, pejabat negara dan publik, kepala organisasi, pangreh praja, dan semua yang mendapat amanah, tanggung jawab atau titipan kekuasaan mesti mampu menjadi guru bagi murid/bawahannya.
Bagi pemimpin tertinggi, betapa berat dan luar biasa imperasi budaya pengajaran ini. Setidaknya untuk memperlihatkan bagaimana revolusi kultural itu sudah terjadi padanya. Tak perlu kita terjebak dalam spekulasi mistis lagi, tentang satrio piningit misalnya, karena secara jernih rasionalitas hakim-hakim MK telah membuat keputusan akhirnya. Joko Widodo, presiden konstitusional terbaru kita, sekurangnya telah membuktikan yang selama ini jadi proposi saya secara personal: struktur paternalistik atau patron-klien yang digemborkan para orientalis itu sebenarnya tak berlaku di negeri ini, sekurangnya dalam soal yang imaterial, dalam soal moral-kultural. Dalam soal ini, wong cilik lebih kerap menjadi guru kita.
Radhar Panca Dahana
Budayawan