JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan, KPK menyamaratakan kedudukan semua orang di mata hukum. Maka dari itu, ia tidak ragu memanggil Megawati Soekarnoputri atas kasus penerbitan surat keterangan lunas (SKL) untuk beberapa obligator Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Kita tidak peduli mau Megawati, mau Presiden, kalau dia tidak mau datang, kita punya langkah yang tegas sesuai hukum," ujar Abraham di Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2014).
Terkait waktu pemanggilan, Abraham belum dapat memastikannya. "Satgasnya masih menganalisis terus kasusnya," kata Abraham.
Meski begitu, ia meminta masyarakat untuk tidak meragukan keberanian KPK dalam memanggil pejabat negara. Ia mencontohkan saat jaksa KPK tidak sangsi untuk bertanya kepada Wakil Presiden Boediono.
"Jaksa saya (KPK) justru malah bisa menekan," kata Abraham.
Terkait penyelidikan SKL, KPK telah memanggil mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi; mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Ramli; dan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Kwik Kian Gie. Seusai diperiksa beberapa waktu lalu, Laksamana mengaku mendapat sejumlah pertanyaan dari tim penyelidik KPK, termasuk soal rapat kabinet era Megawati yang membahas SKL BLBI.
Laksamana dimintai keterangan terkait penyelidikan proses pemberian SKL kepada sejumlah obligor BLBI. KPK menduga ada masalah dalam proses pemberian SKL kepada sejumlah obligor tersebut.
SKL tersebut berisi tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Hal tersebut dikenal dengan inpres tentang release and discharge.
Tercatat beberapa nama konglomerat papan atas yang diberikan inpres tersebut, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintah.
Menurut Laksamana, penerbitan SKL tersebut merupakan amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Adapun melalui ketetapannya, MPR memerintahkan Presiden (saat itu Megawati) untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengutang BLBI.
"Waktu itu zaman Bu Mega, presiden masih mandataris MPR. Jadi, ada tap (ketetapan) MPR yang kalau beliau melanggar, beliau bisa dimakzulkan," ujar Laksamana.
SKL ini pun dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Laksamana melanjutkan, SKL tersebut merupakan produk konstitusi yang harus dilaksanakan. Namun, menurut dia, jika di kemudian hari ditemukan masalah, pemberian SKL ini dapat ditinjau lagi. Selain ditanya soal rapat kabinet, Laksamana mengaku diajukan pertanyaan oleh penyidik KPK seputar beberapa obligor BLBI.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.