Kemarin saya bertemu karib saya. Don namanya. Kepada saya dia mengaku sedang dimabuk rindu. Kepada siapa rindu Don dialamatkan, saya sudah tahu jawabannya. Yani, itulah nama perempuan yang sudah memenjarakan cinta Don hingga kini. Itulah sebabnya, cuma kepada Yani seorang rindu Don ditumpahkan.
Semenjak perpisahan sekira sepuluh tahun lalu di kawasan Senayan, tak pernah sekalipun pasangan ini bersua.
Don pernah bercerita, kali terakhir mereka bertemu di sebuah kafe di Plaza senayan. Hari beranjak senja saat mereka bersua. Dua gelas lemon tea dan sejumlah penganan kecil, menemani mereka berbincang. Sebelum pada akhirnya mereka sepakat untuk berpisah. "Mungkin sebulan, setahun, lima tahun, sepuluh tahun, kita baru berjumpa lagi. Mungkin juga selamanya kita tak akan bertemu," ujar Yani ketika hari telah sempurna senja.
Semenjak itulah keduanya seperti memilih jalan yang bertolak belakang. Don ke Utara, sedang Yani ke selatan, begitu seterusnya. Hingga saya ketemu Don kemarin dan dia menyatakan rindu yang menggebu kepada Yani.
"Temui saja dia, toh kamu tahu alamat kantornya, alamat rumahnya," kata saya enteng.
Don cuma menggeleng.
"Kalian berkawan di media sosial?"
Kembali Don menggeleng, lantas pergi begitu saja, seperti biasanya. Saya pun tidak mencoba untuk memintanya kembali. Saya tahu betul tabiat lelaki jomblo itu., Sebentar lagi tentu dia akan bikin kejutan buat saya.
Malam harinya, dia pun kirim pesan di HP saya. "Cek tulisanku di inbox FBmu," begitu bunyi pesan Don.
Saya pun segera membuka laptop, dan segera menemukan tulisan Don yang lumayan panjang. Begini bunyinya:
Untuk Yani kekasihku.
Demi cuaca yang labil, aku tidak sedang meniru banyak tokoh yang belakangan banyak membuat surat terbuka untuk Prabowo, calon presiden nomor urut satu. Maafkan juga aku, sebab pasti jauh dari yang disebut heroik. Sebab, sementara banyak orang berkirim surat kepada calon presiden, aku malah berkirim surat kepadamu.
Sekali lagi aku minta maaf, sebab masih menyebutmu kekasih. Padahal sudah sepuluh tahun lewat kita tak bertemu dan saling bertegur sapa. Sampai kapan pun, engkau adalah kekasih jiwaku, kendati sampai mati kita tak akan dipertemukan kembali.
Apa kabarmu? Moga-moga kau baik-baik saja.
Jujur kuakui, aku rindu padamu. Lebih dari itu, aku juga ingin bercerita banyak mengenai apa saja yang kujumpai belakangan ini. Sekedar untuk mengurangi beban, sebelum aku gila oleh peristiwa demi persitiwa yang tak masuk akal yang bisa merusak pikiran dan nuraniku.