JAKARTA, KOMPAS.com – Perjuangan Maria Katarina Sumarsih, ibunda BR Norma Irawan atau Wawan, untuk mencari keadilan bagi anaknya yang tewas dalam Tragedi Semanggi I, November 1998 silam tak pernah putus. Setelah secara konsisten melakukan aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, kini Sumarsih kembali mendatangi kantor Dewan Pertimbangan Presiden bersama keluarga korban pelanggaran HAM yang lain, Senin (12/5/2014).
Sumarsih angkat bicara soal tuduhan politisasi yang dilakukan para keluarga korban dan aktivis HAM lainnya dalam menyerukan pengadilan HAM Ad Hoc dan meminta pertanggung jawaban mantan Danjen Kopassus, Prabowo Subianto, yang kini maju sebagai bakal calon presiden dari Partai Gerindra.
Wanita yang rambutnya sudah memutih ini mengaku tak terima dianggap berusaha menjegal langkah Prabowo.
“Kedatangan kami tidak ada kaitannya untuk menyerang atau menjegal yang bersangkutan (Prabowo). Ini bukan suara politik. Ini suara menuntut keadilan, bukan suara lima tahun sekali. Kami datang ke sini demi pengungkapan kebenaran, keadilan, dalam konteks perjuangan keluarga korban. Tidak ada urusannya dengan tuduhan-tuduhan semacam itu,” ucap Sumarsih.
Sumarsih mengeluhkan upaya pengusutan Tragedi Semanggi I yang berhenti di tengah jalan. Dia berpendapat, seharusnya pemerintah bisa mendorong agar kasus-kasus pelanggaran HAM bisa segera dituntaskan. Dia mencontohkan adanya pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan juga kasus Tanjung Priok.
Lebih lanjut, Sumarsih mengaku prihatin dengan kembali munculnya nama Prabowo dan Wiranto yang ketika itu menjabat Pangkostrad dan Panglima TNI dalam kontestasi pemilihan presiden 2014.
“Mereka maju hanya untuk melindungi dirinya sendiri,” ucapnya.
Ketua Badan Pekerja Setara Instute Hendardi menambahkan, dengan adanya rekomendasi DPR soal pengadilan HAM Ad-Hoc atas penghilangan 13 aktivis, yang diduga melibatkan Prabowo, sudah jelas ada tindakan pelanggaran HAM. Menurut Hendardi, hal ini lah yang berusaha terus dikawal aktivis HAM dan keluarga korban.
“Ibu Sumarsih dan kawan-kawan sudah 352 kali melakukan aksi kamisan di depan Istana Negara selama delapan tahun untuk menunjukkan konsitensi,” kata Hendardi.
Dia pun menyindir aktivis yang dinilainya tidak konsisten dengan garis perjuangan pelindungan HAM dan kini justru merapat ke pelaku pelanggaran HAM itu sendiri.
“Mereka kini menjadi jubir dan membenarkan perilaku majikannya untuk lolos menjadi Presiden. Itu hanya musiman, kami tidak akan lakukan hal tersebut,” ujarnya.
Menurut Hendardi, untuk memutus mata rantai impunitas para pelaku kejahatan HAM di Indonesia, memang harus dimulai dari suatu momentum politik. Dia melihat momentum politik itu telah tiba dengan munculnya pengakuan mantan Kepala Staf Kostrad, Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen yang merupakan anak buah Prabowo pada tahun 1997-1998. Kivlan dalam wawancara dengan berbagai media massa mengaku mengetahui lokasi para aktivis disembunyikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.