Komunikasi politik serupa, belakangan, gencar dilakukan oleh elite politik lain, seperti calon presiden dari PDI-P, Joko Widodo (Jokowi).
Sekretaris Jenderal Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Ahmad Muzani menuturkan, partainya juga sudah menjalin komunikasi intensif dengan sejumlah partai, seperti Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam waktu dekat, Ahmad Muzani juga akan bertemu dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta.
Tujuan paling dekat dari berbagai komunikasi politik itu adalah pembentukan koalisi di pemilihan presiden (pilpres). Hal itu dilakukan karena Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mensyaratkan, pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (wapres) diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memperoleh paling sedikit 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif.
Sementara itu, jika melihat hasil hitung cepat sejumlah lembaga terhadap pemilu legislatif, diperkirakan tidak ada partai yang dapat mengusung sendiri pasangan calon capres dan cawapres. PDI-P yang diprediksi menjadi pemenang pemilu legislatif hanya memperoleh sekitar 19 persen suara sehingga kemungkinan PDI-P harus berkoalisi.
Koalisi juga harus dibangun oleh Partai Golkar jika tetap ingin mengajukan Aburizal Bakrie sebagai capres dan Partai Gerindra jika tetap bermaksud mengusung Prabowo Subianto sebagai capres.
Namun, koalisi bisa juga ditinggalkan jika ada partai yang dapat mengusung sendiri pasangan calon capres-cawapres. Hal ini terjadi pada Partai Demokrat pada 2009. Saat itu, Partai Demokrat sebenarnya dapat mengusung sendiri pasangan calon capres-cawapres karena memperoleh 148 kursi DPR atau 26,43 dari kursi DPR yang seluruhnya berjumlah 560 kursi.
Namun, saat itu, Partai Demokrat tetap membuat koalisi besar yang beranggotakan 23 partai untuk mengusung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Partai pendukung pasangan itu di pilpres, antara lain, adalah Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB.
Entah karena besarnya dukungan koalisi atau kuatnya daya tarik sosok SBY, pasangan SBY- Boediono berhasil memenangi Pilpres 2009 dalam satu putaran. Mereka mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Seusai pilpres, Partai Golkar kemudian bergabung dan menambah jumlah anggota koalisi partai pendukung pemerintahan SBY-Boediono.
Enam partai anggota koalisi pemerintahan SBY-Boediono, yaitu Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB, menguasai 423 atau 75,5 persen dari 560 kursi DPR. Sebanyak 137 kursi sisanya dimiliki oleh PDI-P, Partai Gerindra, dan Hanura, yang memutuskan tidak masuk dalam koalisi.
Namun, kurang dari 1,5 bulan setelah SBY-Boediono dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, pada 20 Oktober 2009, guncangan sudah menerpa koalisi tersebut. Hal ini terjadi karena pada 1 Desember 2009 DPR memutuskan membuat panitia khusus angket Bank Century.
Guncangan di koalisi makin terasa ketika pada awal Maret 2010 Partai Golkar, PKS, dan PPP bergabung dengan PDI-P, Gerindra, dan Hanura terkait kesimpulan Pansus Bank Century. Mereka menyatakan, ada dugaan penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana dalam pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Dalam voting di Rapat Paripurna DPR, suara enam partai tersebut mengalahkan suara Partai Demokrat, PAN, dan PKB.
Perbedaan pendapat di antara partai anggota koalisi pemerintahan SBY-Boediono masih tetap terjadi meski setelah kasus Bank Century mereka membentuk sekretariat gabungan partai koalisi yang dipimpin langsung oleh SBY. Perbedaan pendapat itu, antara lain, terlihat dalam usulan kasus angket mafia pajak hingga rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada tahun 2012.
Kondisi ini membuat berita soal koalisi pemerintahan SBY- Boediono, selama ini, banyak diisi dengan kegaduhan politik.