"Kita melihat karut-marut daftar pemilih saat pelaksanaan pemilu, baik tingkat nasional maupun daerah, akibat ketidakkonsistenan pasal, misalnya antara Pasal 33 Ayat 2 dan Pasal 40 Ayat 5," ujar juru bicara tim independen, Max Lawalata, Jumat siang di Jakarta.
Pasal 33 Ayat 2 mengatur tentang daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 paling sedikit memuat nomor induk kependudukan (NIK), nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat WNI yang mempunyai hak memilih. Kata paling sedikit dalam ayat ini, kata Max, menunjukkan keharusan yang harus dipenuhi. Namun, pada Pasal 40 Ayat 5, dinyatakan bagi yang memenuhi syarat sebagai pemilih dan tidak memiliki identitas dimasukkan ke dalam daftar pemilih khusus. "Ini tidak konsisten dengan syarat paling sedikit harus punya NIK," kata Max.
Selain itu, Pasal 38 mengatur tentang data pemilih yang tidak boleh diubah. Namun, Pasal 40 membuka peluang adanya perubahan data pemilih. Tim independen menilai hal itu menyebabkan pelaksanaan pemilu tidak memenuhi asas jujur dan adil.
Sementara itu, anggota tim independen dari forum akademisi teknologi informasi (IT), Hotland Sitorus, mempersoalkan proses penghitungan suara yang tidak diakomodasi seluruhnya oleh UU ini. UU Pemilu menyatakan penghitungan suara dilakukan secara manual.
"Padahal, faktanya dalam proses penghitungan dan rekapitulasi suara mulai dari tempat pemilihan ke kelurahan, kecamatan, hingga ke KPU memakai IT. Artinya, penghitungan suara tidak manual murni," katanya.
Rekapitulasi suara yang menggunakan aplikasi Microsoft Excel, katanya, rentan dimanipulasi dan rekayasa. Menurutnya, bisa saja suara dipindahkan dari satu partai ke partai lain dengan rekayasa formula penghitungan.
Hotland mengatakan, penggunaan IT ini tidak pernah dipublikasi ke publik secara resmi dan tidak ada kebijakan untuk membuat validasi oleh publik. "Untuk itu, perlu judicial review ini karena UU ini sama sekali tidak mengatur penggunaan IT untuk validasi penghitungan suara," ujarnya.
Ekonom Djamester A Simamarta yang akan menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan itu menilai bahwa sejak awal UU ini sudah terkonstruksi tidak konsisten sehingga memungkinkan terjadinya kecurangan yang sistematis dan terpogram.
Meski pelaksanaan pemilu legislatif tinggal menghitung hari, tim independen menargetkan pendaftaran gugatan dapat dilakukan sebelum pileg pada 9 April 2014.
"Untuk sekarang target kita memberikan public awareness agar masyarakat tahu ada potensi kecurangan seperti ini. Registrasi gugatan kita harapkan bisa dilakukan setelah pileg. Ini kan bukan hanya untuk pileg ini, masih ada pilpres dan pemilu kepala daerah nanti," kata Max.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.