Menurut Johan, dua orang yang melapor belakangan tersebut berasal dari Kementerian Sosial dan seorang hakim. Namun Johan tidak menyebutkan identitas lengkap keduanya. Johan mengatakan, selanjutnya laporan iPod yang disampaikan kedua orang ini akan dianalisis untuk kemudian disimpulkan apakah termasuk gratifikasi yang harus disita negara atau bukan.
Sebelumnya, Johan mengungkapkan sembilan pelapor iPod kepada KPK, yakni Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, seorang hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, seorang pejabat Dinas Pemuda dan Olahraga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dua orang dari lingkungan MA, dua orang dari Ombudsman, serta seorang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Menurut undang-undang, kata Johan, setiap pejabat atau penyelenggara negara wajib melaporkan kepada KPK hadiah yang diterimanya berapapun nilai hadiah tersebut. Kendati demikian, menurut Johan, tidak ada sanksi yang diatur dalam undang-undang bagi mereka yang tidak melaporkan kepada KPK pemberian hadiah atau janji.
Penerimaan hadiah atau janji yang tidak dilaporkan, katanya, tidak serta merta dapat dipidana. KPK baru bisa mengusut penerimaan hadiah tersebut jika ada pihak ketiga yang melaporkan adanya indikasi suap berkaitan dengan hadiah yang diterima si pejabat/penyelenggara negara.
Terkait dengan penerimaan iPod ini, Ketua Ikatan Hakim Indonesia Cabang MA Gayus Lumbuun menyambangi Gedung KPK untuk berdiskusi. Gayus mengaku tidak setuju iPod itu disebut gratifikasi karena nilainya menurut Gayus, di bawah Rp 500.000. Kendati demikian, kata Gayus, hakim di lingkungan MA akan melaporkan iPod tersebut kepada KPK secara kolektif. Menurut Gayus, jumlah hakim yang menerima suvenir iPod pernikahan anak Nurhadi mencapai ratusan orang.