Suhardi mengungkapkan, proses yang berjalan di Polri lebih lama karena penyidik dan jaksa penuntut umum tidak berada dalam satu atap. Hal ini menyebabkan berkas perkara harus berulang kali dikembalikan. Selain itu, dalam menangani kasus korupsi, Polri harus menunggu hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengetahui total kerugian negara.
“Kalau kita di luar sekarang kan masing-masing. Nah sekarang akan dibuat seperti itu (satu atap) juga. Sehingga dibangun komunikasi dan sinergi yang pas dalam rangka pemberantasan korupsi,” kata Suhardi.
Selain dengan Polri, Suhardi mengatakan, KPK rencananya juga akan bekerjasama dengan Kejaksaan Agung dan BPKP. Untuk tahun ini, rencananya enam provinsi mendapatkan pelatihan oleh KPK.
“Audit BPKP atau BPK itu paling lama sebenarnya dalam pembuktian. Karena itu menjadi tumpuan kita. Jadi itu yang paling penting. Bagaimana bisa mengejar. Makanya nanti pelatihan juga pada auditor BPKP,” katanya.
Sementara itu, Johan Budi menjelaskan, sistem satu atap memang merupakan upaya mempercepat proses penyidikan. Lambannya proses penyidikan di Polri, kata dia, karena sering terjadi perbedaan persepsi antara jaksa dengan penyidik. Persamaan persepsi itu lah yang nantinya akan dibahas pada saat pelatihan tersebut.
Johan menambahkan, KPK menargetkan akan menyelesaikan proses pelatihan untuk seluruh provinsi di Indonesia pada tiga hingga empat tahun mendatang. Ia berharap, dengan pelatihan tersebut penanganan kasus korupsi yang ditangani Polri dapat berjalan lebih baik dan cepat.