JAKARTA, KOMPAS.com
 — Meskipun telah disumpah, banyak saksi di persidangan yang tidak jujur memberikan keterangan. Indikasinya jelas, banyak kete
rangan yang bertentangan, baik sesama saksi maupun saksi dengan terdakwa. Di Pengadilan Tipikor Jakarta, cukup banyak perkara yang kesaksian-kesaksian itu bertentangan.

Dalam kasus SKK Migas, misalnya, kesaksian yang bertentangan terjadi beberapa kali sehingga majelis hakim melakukan konfrontasi di antara saksi-saksi. Keterangan mantan Sekjen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Waryono Karno bertentangan dengan keterangan anak buahnya, Didi Dwi, Kepala Biro Keuangan Kementerian ESDM.

Menurut Didi, Waryono menerima uang dari SKK Migas yang kemudian dialokasikan untuk unsur pimpinan dan anggota Komisi VII DPR. Didi menceritakan bagaimana Waryono menjatahkan THR untuk Komisi VII itu. Sebaliknya, Waryono membantah keterangan Didi, bahkan menuding Didi yang menerima uang dari SKK Migas.

Terlebih lagi, Waryono tidak mengakui pembicaraannya soal THR untuk Komisi VII dengan Rudi Rubiandini. Padahal, JPU jelas-jelas memiliki alat bukti berupa sadapan telepon di antara keduanya. Rudi mengakui, percakapan dalam sadapan itu adalah pembicaraan dirinya dengan Waryono.

Direktur PT Kaltim Parna Industri Artha Meris Simbolon juga menyangkal sadapan telepon yang diperdengarkan di persidangan. ”Itu mirip suara saya, tetapi bukan saya,” katanya ketika diperdengarkan percakapan antara orang yang diduga dirinya dan Deviardi, teman dekat Rudi Rubiandini.

Deviardi tegas mengatakan, itu pembicaraan dirinya dengan Meris Simbolon. Pembicaraan keduanya mengenai pemberian uang untuk Rudi Rubiandini.

Ketua Komisi VII Sutan Bhatoegana dan anggota Komisi VII, Tri Yulianto, juga membantah menerima THR dari Rudi Rubiandini. Sementara Rudi dengan yakin mengatakan memberikan uang Rp 2 miliar kepada Tri Yulianto di toko buah All Fresh di Jakarta.

Dalam kasus suap Mahkamah Konstitusi juga sama. Dalam kasus suap sengketa Pilkada Gunung Mas di MK, mantan Ketua MK Akil Mochtar bersikukuh tidak tahu Chairun Nisa dan Cornelis Nalau Antun membawa uang suap Rp 3 miliar saat datang ke rumahnya.

Padahal, berdasarkan petunjuk-petunjuk berupa pesan singkat antara Akil dan Chairun Nisa serta juga kesaksian Chairun Nisa telah ada kesepakatan untuk penyerahan uang tersebut. ”Pak Akil tentu tahu, saya ke rumahnya membawa uang,” kata Chairun Nisa.

Sesuai dengan KUHAP, hakim dapat mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang berbohong. Bachtiar Sitompul, ketua majelis hakim kasus korupsi PON di PN Pekanbaru, dengan terdakwa Rusli Zainal, Rabu (5/2/2014), membuktikan. Bachtiar meminta jaksa KPK untuk memproses secara hukum Said Faisal, ajudan Rusli, yang diduga memberi keterangan palsu. KPK pun menahan Said Faisal, Jumat (21/2/2014).

Ketegasan hakim memang sangat diperlukan... (faj)